KOMPARASI.ID – Laut tak sekadar bentang biru yang memisahkan pulau, tapi menjadi nadi kehidupan bagi Sry Rahayu Kaino.
Bagi perempuan muda asal pesisir Bone Bolango ini, laut adalah rumah, budaya, sekaligus medan perlawanan.
Kini, langkahnya tak lagi terbatas di garis pantai kampung halaman ia resmi dinyatakan lolos sebagai peserta Sekolah Duta Maritim Indonesia Batch 4 Tahun 2025.
Sry Rahayu Kaino, atau yang lebih akrab disapa Ayu, menjadi satu dari sedikit pemuda Gorontalo yang berhasil menembus program bergengsi yang digagas ASPEKSINDO.
Sebentar lagi, ia akan bertolak ke Jakarta untuk menjalani pelatihan intensif bersama delegasi dari berbagai provinsi.
Program ini dirancang untuk mencetak pemimpin muda di bidang kemaritiman.
Bukan hanya yang menguasai aspek teknis, tetapi juga mereka yang peka membaca dinamika sosial-politik laut Indonesia dan mampu menjembatani suara rakyat pesisir dengan otoritas pengambil kebijakan.
Sebagai anak pesisir yang akrab dengan denyut kehidupan laut, Ayu tumbuh dalam kesadaran penuh akan persoalan warganya.
Ketika ditanya motivasi mengikuti Sekolah Duta Maritim, dengan tegas dirinya menjawab, ingin masyarakat pesisir, nelayan, dan perempuan pulau kecil tidak hanya dijadikan objek pembangunan, tapi dilibatkan sebagai subjek yang menentukan arah kebijakan maritim nasional.
Pernyataan itu mencerminkan kekecewaannya terhadap praktik pengelolaan laut Indonesia yang masih kerap mengabaikan masyarakat lokal.
Meski telah ada landasan hukum seperti UU No. 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ayu memberi contoh, saat luas wilayah laut daerah melebihi 12 mil laut, otoritasnya langsung beralih ke pemerintah pusat.
Padahal masyarakat lokal yang paling mengenal, merawat, dan menggantungkan hidup dari wilayah itu.
Ketimpangan semacam ini, kata Ayu, perlu dikritisi lewat ruang pendidikan dan advokasi seperti yang ia ikuti kini.
Luas laut Indonesia mencapai 7,9 juta kilometer persegi hampir 75 persen dari total wilayah nasional.
Namun, kontribusi suara masyarakat maritim dalam kebijakan publik masih sangat minim, diperkirakan tak lebih dari 5 persen.
Wilayah pesisir strategis seperti Gorontalo, Sulteng, Sulut, Maluku, hingga Papua masih minim wakil muda yang bisa menyuarakan kepentingan komunitasnya di level nasional.
Ayu berharap pengalamannya ini bisa membuka jalan bagi lebih banyak anak muda Gorontalo agar terlibat aktif dalam wacana maritim yang selama ini termarginalkan.
Isu laut dan pesisir kerap dianggap sekadar urusan teknis, bukan prioritas politik.
Keterlibatan perempuan dalam sektor maritim juga masih kerap dinomorduakan.
Perempuan pesisir lebih sering diposisikan sebagai pelengkap dalam struktur ekonomi keluarga nelayan, alih-alih sebagai bagian penting dalam pengambilan keputusan tata kelola wilayah.
“Perempuan di pesisir bukan hanya penyokong ekonomi keluarga, tapi juga penjaga nilai-nilai ekologis dan budaya maritim. Sudah saatnya perempuan dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut laut dan sumber dayanya,” tegas Ayu.
Julukan “Srikandi Bone Bolango” memang sering disematkan padanya. Namun Ayu menolak jika keberadaannya hanya dianggap simbolik.
Ia hadir membawa gagasan, sudut pandang kritis, dan semangat kolektif untuk bergerak bersama.
Keikutsertaannya dalam Sekolah Duta Maritim bukan semata pencapaian individu atau kebanggaan daerah.
Bagi Ayu, ini adalah amanat untuk menyuarakan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan dari percakapan kebijakan nasional.
Di Jakarta nanti, dirinya akan mengikuti serangkaian pelatihan mulai dari ekologi laut, hukum kelautan, geopolitik maritim, hingga penguatan masyarakat pesisir.
Ia akan berjejaring dengan pemuda-pemudi dari seluruh penjuru negeri yang punya misi serupa, menjadikan laut sebagai masa depan Indonesia.
Perjalanannya ke ibu kota bukan garis akhir, tapi permulaan dari perjuangan panjang.
Dari pesisir Bone Bolango, ia membawa cerita nelayan, suara ibu-ibu pengolah hasil laut, dan tawa anak-anak pantai.
Ia ingin menerobos kesunyian yang selama ini menelan mereka.
“Siapa tahu, ombak kecil dari Bone Pesisir ini mampu mengguncang kesadaran kebijakan maritim negeri.”tandasnya.














