KOMPARASI.ID – Gelombang protes ratusan kepala desa, guru PAUD, dan kader Posyandu mengemuka di halaman DPRD Provinsi Gorontalo, Senin (1/12/2025).
Mereka menuntut kejelasan pencairan Dana Desa tahap kedua yang tertahan imbas penerbitan Permenkeu Nomor 81 Tahun 2025.
Aksi berlangsung tertib. Perwakilan massa diterima langsung Anggota Komisi I DPRD Gorontalo, Femi Udoki, yang memaparkan duduk perkara keterlambatan pencairan serta langkah yang akan diambil lembaganya.
Menurut Femi, persoalan bermula dari ketidaksinkronan jadwal antara terbitnya regulasi baru dan batas pemasukan dokumen persyaratan.
“Permenkeu Nomor 81 Tahun 2025 diterbitkan pada 19 November, sementara batas pemasukan dokumen itu sudah ditetapkan sejak 17 September. Jadi secara teknis, tidak mungkin desa-desa ini memenuhi tambahan persyaratan tersebut,” jelas Femi.
Kondisi itu berdampak langsung pada 240 desa yang gagal mencairkan Dana Desa tahap kedua.
Implikasinya cukup besar, terutama bagi operasional layanan dasar desa seperti PAUD dan Posyandu yang sangat bergantung pada dana tersebut.
DPRD Bawa Masalah ke Tiga Kementerian
Menanggapi tuntutan massa aksi, Komisi I memastikan akan membawa persoalan tersebut ke tingkat kementerian.
Ada tiga kementerian yang akan dikonsultasikan:
- Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
- Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT)
“Kami akan menyampaikan langsung aspirasi para kepala desa melalui Zoom Meeting pada Rabu, 3 Desember nanti. Kami juga berharap kepala desa dapat ikut mendampingi agar tuntutan ini tersampaikan secara lengkap,” terang Femi Udoki.
Komisi I juga mengusulkan peninjauan ulang terhadap salah satu pasal yang mengatur batas pemasukan dokumen.
Usulan yang dibawa ialah perpanjangan batas waktu menjadi 15 Desember sehingga desa masih memiliki ruang menyesuaikan persyaratan baru.
Solusi APBD Tidak Dimungkinkan
Di tengah kekhawatiran terhentinya aktivitas layanan desa, sempat muncul wacana penggunaan APBD Provinsi Gorontalo sebagai alternatif. Namun hal itu ditepis oleh Femi.
“APBD sudah disahkan, jadi sulit untuk mencari solusi lewat provinsi. Jalan terbaik tetap melalui revisi atau penyesuaian aturan di pemerintah pusat,” tegasnya.
Komisi I berharap konsultasi dengan kementerian dapat menghasilkan solusi yang berpihak pada desa.
Penolakan para kepala desa disebut sebagai gambaran nyata kondisi lapangan yang membutuhkan tindak lanjut cepat, terutama karena tertundanya Dana Desa dapat memengaruhi layanan pendidikan, kesehatan, hingga administrasi pemerintahan desa.














