Ulasan  

Menjaga Integritas Bukti Digital dalam Pengawasan Pemilu: Kerangka Teoritis dan Praktis bagi Pengawas Pemilu

KOMPARASI.ID, (Ulasan) – Perkembangan teknologi informasi telah mengubah secara fundamental karakter proses politik dan penyelenggaraan pemilu. Aktivitas kampanye, distribusi informasi, sosialisasi kandidat, hingga administrasi kepemiluan kini berlangsung secara intens di ruang digital.

Pemanfaatan media sosial, aplikasi pesan instan, sistem informasi pemilih, dan berbagai platform daring telah memperluas ruang interaksi politik, namun sekaligus menciptakan risiko baru bagi integritas pemilu.

Bentuk-bentuk kecurangan seperti manipulasi data, penyebaran disinformasi terstruktur, penggunaan akun tidak autentik, serangan siber terhadap infrastruktur kepemiluan, serta upaya memodifikasi dokumen dan komunikasi digital semakin kompleks dan sulit terdeteksi jika hanya mengandalkan metode pengawasan konvensional.

Dalam konteks tersebut, bukti digital (digital evidence) menjadi elemen penting dalam memperkuat pengawasan pemilu. Pengawasan bukti pelanggaran tidak lagi hanya berupa dokumen fisik, rekaman manual, atau saksi di lapangan.

Jika dulu pelanggaran terutama terdeteksi melalui observasi lapangan, dimasa mendatang sebagian besar jejak pelanggaran justru hadir dalam bentuk  bukti digital atau digital footprints: pesan pribadi yang bocor, rekaman CCTV, unggahan viral, atau dokumen yang beredar di platform daring, hingga metadata dalam sebuat perangkat digital kini menjadi salah satu elemen paling menentukan dalam menilai sebuah dugaan pelanggaran.

Bukti digital memiliki sifat yang rapuh (vulnerable) dan dapat dimodifikasi (volatile). Sehingga diperlukan treatment khusus terhadapnya agar bisa digunakan secara sah dalam proses pembuktian sebuah temuan atau laporan dugaan pelanggaran pemilu.

Tantangannya, bukti digital adalah entitas yang mudah diubah, mudah rusak, dan rentan dipersoalkan secara hukum apabila tidak diperlakukan dengan metodologi yang tepat. Inilah realitas baru yang menuntut cara pandang berbeda.

Sementara itu ada masalah pada area ancaman siber dalam Pemilu yang faktanya telah berevolusi dari serangan sederhana menjadi operasi yang terstruktur dan canggih. Data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan peningkatan 30% serangan siber yang menargetkan infrastruktur pemerintah, termasuk sektor pemilu, dibandingkan tahun sebelumnya.

Penyebaran disinformasi dan hoaks telah menjadi ancaman serius terhadap proses dan integritas tahapan pemilu di era digital hari ini. Berdasarkan laporan Kementrian dan inforamsi, terjadi peningkatan 300%  kasus hoaks pemilu dibandingkan periode sebelumnya.

Platform media sosial menjadi medium utama penyebaran informasi palsu, yang sudah tentu akan mempengaruhi pemilih dalam menentukan sebuah pilihan atau dapat menggiring sebuah opini. Dengan persentase 92,4% hoaks disebarkan melalui media sosial menurut data Mastel.

Fenmena ini tidak hanya mengaburkan informasi faktual, tetapi juga dapat mempengaruhi persepsi dan keputusan pemilih. Pengawas pemilu harus memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan menindaklanjuti penyebaran disinformasi dengan menggunakan pendekatan forensik digital yang tepat. (sumber : penguatan pengawasan pemilu di era digital: pengenalan forensik digital dan cyber security  “bawaslu membelajarkan”).

Namun, pemanfaatan bukti digital dalam pengawasan pemilu menghadapi sejumlah tantangan, antara lain kapasitas teknis pengawas yang berbeda-beda, standar hukum pembuktian yang terus berkembang, ancaman manipulasi digital seperti deepfake, serta belum optimalnya prosedur chain of custody untuk memastikan integritas bukti.

Oleh karena itu, diperlukan kerangka teoritis dan praktis yang komprehensif untuk memastikan bahwa bukti digital dapat dikelola, dianalisis, dan disajikan secara sah, valid, dan meyakinkan dalam proses penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu.

Catatan ini mencoba merangkum pikiran dan persepsi tentang bagaimana pengawasan pemilu harus bertransformasi bukan hanya mengikuti ritme zaman, tetapi menguasainya.

Di sinilah pentingnya integritas bukti digital. Bagi pengawas pemilu maupun Bawaslu, memahami bagaimana bukti digital dijaga sejak ditemukan hingga dipresentasikan menjadi prasyarat mutlak agar proses penegakan hukum pemilu berjalan adil, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan, atau dalam bahasa berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan.

Urgensi ini semakin menguat mengingat adanya rencana revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemilihan, sehingga pengaturan mengenai standar penanganan bukti digital perlu mendapatkan perhatian khusus agar memiliki dasar hukum yang lebih kuat, konsisten, dan responsif terhadap tantangan era digital.

Pertama : Era Digital Membangun Ruang Baru Pelanggaran, dan Ruang Baru Pengawasan

Teknologi memperluas peluang pelanggaran pemilu kedepan, adanya disinformasi terkoordinasi, kampanye terselubung melalui akun anonim, transaksi politik uang melalui aplikasi E-wallet dimana memungkinkan para pelaku memfasilitasi transfer dana yang cepat, mudah, dan terkadang sulit dilacak dalam skala massal, sehingga menjadi metode baru untuk menyuap pemilih.

Baca Juga :  Menguji Ketangguhan BSG terhadap Saham Minoritas

Anonimitas parsial atau penggunaan akun-akun yang tidak terverifikasi dengan baik mempersulit penegak hukum untuk membuktikan adanya suap terkait pilihan politik tertentu. Hingga manipulasi data hasil perhitungan. Namun pada saat yang sama, teknologi juga menyediakan alat paling kuat untuk mendeteksi dan menindak.

Pengawasan pemilu yang kuat bukan lagi sekadar hadir di TPS—tetapi hadir di ruang digital tempat opini, data, dan narasi bertarung setiap detik.

Bahwa ketika pelanggaran bermigrasi ke ruang digital, maka kebijakan pengawasan pun wajib bermigrasi. Artinya, negara harus memberikan mandat dan kewenangan eksplisit kepada lembaga pengawas untuk melakukan digital tracing, data request, analisis trafik informasi, pemeriksaan bukti elektronik, hingga audit sistem yang digunakan dalam pemilu

Pengawas pemilu harus bekerja seperti forensik digital professional, setiap sentuhan pada bukti digital harus bisa dipertanggungjawabkan secara teknis dan hukum, dari momen ditemukan sampai dipresentasikan dalam sebuah persidangan.

Kedua : Bukti Digital  (Digital Efidance) Adalah Titik Lemah dan Titik Kekuatan

Bukti digital adalah paradoks: ia paling mudah ditemukan, paling banyak tersedia, tetapi juga paling rentan dipersoalkan. Sedikit perubahan saja bisa membuatnya dianggap tidak sah. Karena itu integritas bukti digital bukan sekadar kebutuhan teknis, tapi menjadi fondasi legitimasi seluruh proses pengawasan.

Tanpa integritas bukti, argumen hukum jadi rapuh. Dengan integritas bukti, pengawasan menjadi tak terbantahkan. Namun bukti digital juga paling mudah dipersoalkan jika integritasnya tidak terjaga. Karena itu, Bawaslu dituntut memahami prosedur forensik digital sejak momen bukti ditemukan hingga dipresentasikan.

Hari ini jika kita tinjau regulasi belum bergerak secepat inovasi digital perubahan pola pelanggaran berlangsung jauh lebih cepat dibanding laju adaptasi regulasi pemilu. Instrumen hukum yang ada masih berorientasi pada kejahatan konvensional, seperti serangan fisik, politik uang berbasis tunai, kampanye lapangan, atau kecurangan administratif. Namun realitas saat ini menuntut aturan yang mampu menjangkau, pembuktian kejahatan digital (digital evidence handling) yang membutuhkan standar chain of custody baku.

Penindakan terhadap akun anonim yang melakukan serangan terstruktur dalam proses pemilu di era kedepan harus dapat diantisipasi dan dipetakan pergerakan. Pengawasan distribusi uang melalui kanal non-fisik, termasuk dompet digital, e-wallet, akun crypto, hingga marketplace.

Audit teknologi dalam tahap penghitungan suara dan rekapitulasi, terutama jika sistem Sirekap atau alat digital lain digunakan dalam penyelenggaraan pemilu. Tanpa pembaruan peraturan, pelanggaran yang terjadi di ruang digital akan terus melampaui kemampuan penindakan. Legislasi dan peraturan teknis harus dipikirkan sebagai instrumen hidup (living regulation) yang mampu menyesuaikan diri dengan inovasi teknologi secara dinamis.

Ketiga : Rantai Penguasaan (Chain of Custody) Adalah Napas Pengawasan Modern

Dalam persepsi banyak orang, bukti itu soal “apa yang ditemukan”. Padahal dalam konteks digital, bukti itu soal “apa yang bisa dibuktikan telah dijaga”. Setiap detik sejak bukti ditemukan, integritasnya berjalan di atas garis tipis. Ada atau tidaknya chain of custody menentukan nilai bukti.

Chain of Custody (CoC)  merupakan catatan lengkap yang menjelaskan siapa menguasai bukti, kapan, di mana, dan untuk tujuan apa, sejak ditemukan hingga diajukan sebagai alat bukti.

Chain of custody bertujuan untuk menjamin bahwa setiap bukti digital yang diperoleh dalam proses pengawasan pemilu tetap terjaga keaslian, integritas, dan keabsahannya, serta dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan hukum pada seluruh tahapan pemeriksaan.

Pengawas pemilu harus melihat dirinya bukan sekadar penemu bukti digital atau pelapor, tetapi penjaga kredibilitas data.

Sehingga untuk menjaga keaslian dan integritas bukti digital perlu di buatkan SOP yang mengatur proses, mulai dari : (1) Temuan awal bukti digital, (2) Pengamanan bahan bukti,  (3) Pencatatan Chain of Custody, (4) Pemindahan & penyimpanan, (5) Pemeriksaan & analisis, (6) Laporan Hasil Pemeriksaan.

Menurut ACPO (Association of Chief Police Officer) terdapat 4 prinsip dalam penanganan bukti digital. Berikut adalah 4 prinsip penanganan bukti digital menurut ACPO.

  1. Prinsip 1, seorang penegak hukum tidak diperbolehkan untuk mengubah data yang terdapat pada komputer atau media penyimpanan karena hal ini akan dipertanggung jawabkan di pengadilan.
  2. Prinsip 2, dalam situasi tertentu dan jika memang diharuskan, seseorang diperbolehkan untuk mengakses data yang asli, namun orang tersebut harus kompeten dan ia harus dapat menjelaskan tentang relevansi terhadap barang
Baca Juga :  Deforestasi dan Ancaman Banjir di Pohuwato Izin Konsesi akan Perparah Krisis Ekologis

bukti serta implikasi terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap barang bukti tersebut.

  1. Prinsip 3, catatan dan audit yang berisi semua proses dalam penanganan barang bukti elektronik harus dibuat dan ketika pihak ketiga memeriksa catatan dan audit tersebut, hasilnya harus sama dengan yang dimiliki oleh

pihak investigator.

  1. Prinsip 4, orang yang bertanggung jawab dalam investigasi ini harus memastikan bahwa hukum dan semua prinsip ini dipatuhi oleh orang-orang yang terlibat.

Sehingga , integritas bukti digital bertumpu pada tiga prinsip utama, yaitu menjaga keaslian, memastikan keterjagaan, dan mendokumentasikan setiap proses. Prinsip ini diwujudkan dalam langkah praktis mulai dari pengamanan awal, pencatatan chain of custody, pembuatan salinan bit-by-bit, verifikasi hash, hingga analisis metadata dan rekonstruksi timeline.

Setiap sentuhan terhadap bukti harus bisa dijelaskan—siapa yang memegang, kapan dipindahkan, alat apa yang digunakan, hingga di mana disimpan. Jika satu saja bagian rantai itu hilang, bukti bisa dianggap cacat dan tak layak dijadikan dasar penegakan hukum.

Bahwa dalam sistem hukum Indonesia, bukti elektronik dikenal sebagai alat bukti yang sah. Perkembangan teknologi digital membawa perubahan signifikan dalam cara bukti dikumpulkan dan dipresentasikan di pengadilan. Regulasi seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan dasar hukum bagi pengakuan bukti elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.

“Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024 yang juga menegaskan kembali, bahwa informasi elektronik dan dokumen elektronik itu adalah alat bukti hukum yang sah, dan kemudian informasi atau dokumen elektonik yang dimaksud itu akan menjadi sah apabila menggunakan sistem elektronik, sesuai yang dimaksud dengan undang-undang,”

Dalam UU ITE juga ada syarat materil agar bukti elektronik dianggap sah: harus bisa dijamin keaslian (autentik), keutuhan (integritas), dan ketersediaan datanya.

Hari ini publik kita masih terus di suguhkan terkait adanya kasus tuduhan dokumen palsu terhadap tokoh publik di Indonesia memunculkan keprihatinan luas: dalam laporan terhadap dugaan “ijazah palsu”, penyidik menyatakan adanya “editing dan manipulasi digital terhadap dokumen  dengan metode yang tidak ilmiah.”

Kasus ini menunjukkan bahwa dokumen atau gambar hasil tangkapan layar atau hasil “capture” yang bisa dengan mudah disebar di media sosial dapat dipertanyakan keasliannya secara forensik. Jika penanganan bukti tidak memakai standar ketat, maka klaim bisa berupa rekayasa, tuduhan palsu, ataupun hoaks, bukan fakta.

Di konteks pemilu, hal serupa bisa terjadi: gambar kampanye palsu, manipulasi foto/video kandidat, rekayasa data, atau penyebaran materi kampanye digital yang disunting (misalnya dengan bantuan AI). Itu sebabnya lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu telah menyuarakan kewaspadaan terhadap “gelombang manipulasi digital, termasuk penggunaan deepfake.”

Realitas ini menunjukkan bahwa bukti digital  baik dokumen, gambar, video, data  rentan terhadap manipulasi, dan hanya bukti yang ditangani dengan prosedur forensik dan chain of custody rigoris yang punya legitimasi kuat, baik untuk audit internal maupun di persidangan / sengketa pemilu.

Agar syarat materil terpenuhi maka pada fase pelaporan dan presentasi, bukti harus disajikan secara transparan: menampilkan proses ruang lingkup analisis, nilai hash, hingga relevansi temuan dengan dugaan pelanggaran. Pendekatan forensik digital bukan hanya persoalan teknis, tetapi menyangkut kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Apa itu nilai hash?

Hash adalah serangkaian huruf dan angka yang dihasilkan oleh algoritma tertentu (seperti MD5, SHA-1, atau SHA-256) untuk mewakili isi sebuah file.

File apa pun—foto, video, dokumen, rekaman—kalau dimasukkan ke algoritma hash, hasilnya adalah deretan angka unik.

Kalau isi file berubah sedikit saja, bahkan cuma ganti satu huruf atau satu piksel, nilai hash-nya langsung berubah total.

Makanya hash dipakai untuk membuktikan bahwa: file asli tidak diubah, salinan identik dengan yang asli, proses forensiknya bersih dan tidak memodifikasi barang bukti.

Contoh gampangnya : Misal ada foto kampanye ilegal, kemudian kita masukan dalam sebuah tools untuk meghitung hash-nya: misalnya dapat hasil  seperti ini  :  A1B2C3D4…

Baca Juga :  Jejak Prasejarah di Situs Oluhuta, Penemuan Kapak Batu dan Kerangka Manusia Kuno

Setelah disalin dengan metode forensik dan menggunakan tools imaging forensik, kita akan menghitung lagi hash salinannya. Kalau hasilnya sama persis, berarti file itu tidak diutak-atik dan sudah dapat dipastikan tidak dimodifikasi.  Kalau berbeda nilai hast nya , berarti ada yang berubah—dan integritasnya bisa diragukan.

Integritas bukti digital bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal legitimasi demokrasi. Pemilu yang diawasi dengan pendekatan digital yang bertanggung jawab akan menghasilkan proses yang lebih transparan, lebih adil, dan lebih dipercaya publik.

Dalam konteks tersebut, Bawaslu perlu terus memperkuat literasi forensik digital, membangun SOP terstandar melalui regulasi khusus, serta memastikan setiap pengawas di lapangan memahami bahwa satu klik saja dapat menentukan nasib sebuah kasus.

Mengingat dalam prakteknya bahwa kekuasan yang berlebih yg dimiliki oleh penyelenggara/ pengawas pemilu akan berpotensi kuat untuk melakukan tindakan manipulatif sehingga jauh dari prinsip pemilu yang transparan dan berkeadilan.

Apa implikasi dimasa depan, terhadap pemilu, sengketa dan legitimasi demokrasi jika topik ini tidak kita perhatikan,

Pertama : Bahwa dengan semakin canggihnya teknologi (AI, deep-fake, editing digital, manipulasi metadata) — setiap dokumen, gambar, video, data hasil capture bisa dipertanyakan. Tanpa prosedur forensik & CoC, “bukti” bisa menjadi senjata hoaks atau fitnah.

Kedua: Jika lembaga pengawas tidak adaptif, maka penyelenggaraan pemilu dan hasilnya bisa kehilangan legitimasi bahkan jika prosedur administratif (TPS, suara, daftar pemilih) dijalankan dengan benar.

Ketiga: Sebaliknya, jika pengawasan digital dikelola secara profesional dengan integritas bukti, itu bisa menjadi penangkal utama manipulasi: membuat pelaku jahat sulit menyebar materi rekayasa tanpa terlacak.

Keempat: Program penguatan kapasitas terhadap jajaran yang tentunya menambah kemampuan baik secara teori dan praktik terkait dengan digital forensic akan memperkuat peran Bawaslu dan pengawas sebagai garda demokrasi moderen, bukan hanya pengawas lapangan, tapi juga  “wasit digital” tentu melalui bentuk kerja sama dan kolaborasi dengan Lembaga terkait.

Di tengah derasnya perkembangan teknologi, peningkatan literasi forensik digital bagi pengawas pemilu menjadi kebutuhan mendesak. Pemilu yang diawasi dengan pendekatan digital yang tepat akan melahirkan proses yang lebih akuntabel dan dipercaya masyarakat.

Salah satu alasan utama adalah pentingnya pemilu dalam konteks politik dan kebijakan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bruce Schneier, seorang pakar keamanan siber terkemuka, dalam bukunya Click Here to Kill Everybody,” pemilu adalah “peristiwa besar” dalam suatu negara, dan oleh karena itu, mereka menjadi target utama bagi pihak-pihak yang ingin mempengaruhi atau merusak proses demokrasi.

Schneier menggarisbawahi bahwa serangan siber pada pemilu dapat memberikan pengaruh yang signifikan pada hasilnya, dan inilah yang membuat pemilu menjadi target yang menarik bagi para penyerang.

Pemilu di era digital kedepan bukan hanya pertarungan suara, tetapi pertarungan informasi, data, dan narasi. Pengawas pemilu harus mengembangkan persepsi baru, bahwa memastikan dirinya memiliki integirtas terlebih dahulu sebelum menjaga integritas dari bukti digital. Karena bukti digital bukan sekadar alat pembuktian, tetapi aset kepercayaan publik. Dan kepercayaan itulah yang menjadi pondasi dari seluruh proses pemilu yg berkeadilan.

Program penguatan kapasitas bagi jajaran pengawas pemilu, seperti yang tengah dijalankan Bawaslu saat ini yaitu dalam program Bawaslu Mengajarkan bukan sekadar adaptasi teknis, melainkan investasi terhadap kredibilitas demokrasi. Tanpa itu, setiap sengketa, adanya tuduhan manipulasi, atau justru manipulasi nyata bisa menggerus kepercayaan publik terhadap pemilu, proses elektoral, dan hasilnya.

 

Oleh : Musika Hidayat Al Anshori, S.Kom, | Analis Kebijakan Ahli Pertama | Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI)

Editor: Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *