KOMPARASI.ID, Suara Mahasiswa –Selebrasi tujuh Kepala Daerah yang secara bersamaan mengajukan permohonan penggenapan masa jabatan ke Mahkamah Konstitusi rentan mencederai hak masyarakat Indonesia
Gugatan penggenapan masa jabatan para kepala daerah tersebut dengan dalil terdapat kekosongan norma pada Pasal 201 ayat 4 dan 5 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur masa jabatan.
Selain itu, sidang tersebut menguji materiil UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dalam permohonannya, tujuh orang itu merasa dirugikan dan dilanggar hak konstitusionalnya sebagai kepala daerah yang dipilih secara demokratis sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan di dalam Pasal 201 ayat (5) UU nomor 10 Tahun 2016 yang menjadi objek pengujian di dalam permohonan a quo.
Tetapi jika ditakar kembali, gugatan para kepala daerah tersebut, kita akan mendapati probabilitas yang berbeda. Hal ini dapat memicu konflik sosial, antar politisi, partai politik dan berbuntut pada konstituen (Masyarakat).
Dalam konteks hukum dan penggenapan masa jabatan kepala daerah, perlu dipertimbangkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting dalam menjaga konstitusionalitas.
Namun, kritik terhadap kepala daerah yang mengajukan perpanjangan masa jabatan bisa muncul sebagai respons terhadap potensi pelanggaran prinsip demokrasi.
Selayaknya, kepala daerah harus memahami bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat melalui pemilihan memiliki batas waktu yang telah ditetapkan.
Langkah untuk memperpanjang masa jabatan seharusnya disertai dengan transparansi dan pertanggungjawaban yang tinggi. Kritik ini sejalan dengan prinsip-prinsip hukum yang harus dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.
Kritik tidak semata-mata menentang, melainkan mengajak untuk merenung pada esensi demokrasi dan konstitusionalitas. Hal ini sejalan dengan pendekatan hukum, di mana upaya perpanjangan masa jabatan harus diuji secara mendalam untuk memastikan tidak adanya penyalahgunaan wewenang.
Dengan demikian, kritik terhadap kepala daerah yang mengajukan penggenapan masa jabatan merupakan bagian dari kontrol yang sehat dalam sistem demokrasi, serta mencerminkan kebutuhan akan keterbukaan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.
Kepala Daerah secara konstitusional tidak boleh terkesan hanya mementingkan durasi masa jabatan untuk kekuasaannya dalam pemerintahan, serta seolah-olah abai terhadap pesta demokrasi rakyat yaitu pilkada, padahal mereka dipilih oleh rakyat.
Walaupun mereka berdalih dengan statement, apa yang dilakukan tersebut tidak akan mengganggu atau akan turut mendukung pilkada serentak tetapi ada konsekuensi lain yang juga turut membersamai, misalnya emosi masyarakat yang telah muak dengan kepala daerah tersebut.
Pada narasi ini penulis ingin menekankan, seharusnya para kepala daerah, khususnya wali kota Gorontalo lebih cermat dalam menakar kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, sebab begitulah tugas kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat.
Penulis menilai, gugatan wali kota Gorontalo ke MK terkesan sangat politis dan ambisius. Saya dan seluruh masyarakat Gorontalo tahu persis bapak Marten Taha telah 2 periode menjadi wali kota Gorontalo, dengan durasi selama itu apakah masih kurang .?
Pada akhirnya, penulis ingin menguraikan beberapa hal agar menjadi gambaran bagi seluruh masyarakat Gorontalo diantaranya:
1.Dengan digenapkannya masa jabatan kepala daerah apakah dapat dimanfaatkan secara politis untuk Paslon atau partai politik tertentu dalam menyongsong perhelatan/pemilihan kepala daerah berikutnya ?
Tentu secara politis hal itu sangat mungkin terjadi, jika kita cermati kembali “beberapa informasi yang berkembang di masyarakat”, pada tahun 2022 wali kota Gorontalo di duga menginstruksikan semua Aparatur sipil negara (ASN) untuk menghadiri perayaan hari ulang tahun (HUT) partai politiknya, di gedung olah raga Nani wartabone sehingga kejadian itu berbuntut di panggilnya Sekretaris Daerah (SEKDA) oleh Bawaslu untuk dimintai keterangan.
2. Jika masa jabatan Wali kota Gorontalo diperpanjang sampai tahun 2024, dapat menyelesaikan pembangunan infrastruktur kota Gorontalo yang sedang terbengkalai, carut marut dan sarat akan korupsi ?
Di memory masyarakat kota Gorontalo sulit untuk di nisbikan pemandangan ibu kota provinsi yang amat mencederai mata.
Pembangunan jalan Panjaitan, Pasar Kawasan perdagangan, SPAM Dungingi dan lainya adalah saksi ketidakmampuan wali kota Gorontalo dalam menjalan roda pemerintahan.
Dalam keheningan Gorontalo, terdengar jeritan bisikan keadilan yang tenggelam dalam lumpur korupsi. Dana pemulihan ekonomi nasional, yang seharusnya menjadi penopang keberlanjutan kota, kini menjadi sumber kelam yang merayap di balik bayang-bayang proyek infrastruktur mangkrak.
Masyarakat terpinggirkan, sementara para pelaku korupsi merajut benang-benang kekayaan dari mahakarya yang tak pernah rampung.
Proyek-proyek yang semestinya menjadi nafas baru bagi Gorontalo, kini hanya menelanjangi kepercayaan rakyat. Sebagai seorang aktivis, saya menyeru agar kita tidak hanya melihat reruntuhan fisik, tetapi juga runtuhnya moral dan integritas dalam koridor kebijakan publik.
Dalam kegelapan ini, sosok-sosok yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat malah menjelma menjadi predator, memangsa harapan-harapan yang terhempas.
Dengan khidmatnya, kita melihat megastrukturnya yang hanya berdiri setengah mati, mencerminkan kehampaan dan kemerosotan sistem yang semestinya menjamin kesejahteraan rakyat.
Seakan-akan dana pemulihan ekonomi nasional adalah sekadar boneka yang dipermainkan oleh tangan-tangan serakah, bukan alat untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Saat ini, kita adalah saksi bisu dari dramatisasi kebobrokan, di mana uang rakyat tidak lagi menjadi alat perubahan, melainkan mantra hitam yang membelit masa depan.
Maka, sebagai suara kritis, mari bersama-sama merobek tirai korupsi yang menyelimuti proyek-proyek mangkrak ini. Gorontalo membutuhkan lebih dari sekadar tembok dan jalan yang tak kunjung selesai, tapi juga fondasi integritas dan keadilan yang kokoh.
Mirisnya, ketidak mampuan wali kota Gorontalo dalam memimpin, kehilangan integritas secara terang-terangan malah mengajukan penggenapan masa jabatan ke MK dengan dalil hak konstitusional. Entah untuk kepentingan siapa. ?
Disclaimer:
Artikel ini adalah Opini penulis. Segala materi yang ditulis adalah tanggung jawab penulis dan tidak mewakili redaksi Komparasi.id
Penulis : Zakaria (Ketua Umum HMI Cabang Gorontalo)














