Ditulis Oleh: Dicky Rahmansyah S. Tone
KOMPARASI.ID – Raja Ampat, surga bahari yang keindahannya diakui dunia, kini kembali diguncang isu krusial.
Sebuah Kabar beredar tentang potensi penambangan nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.
Respons cepat muncul bahwa “lokasi ini di luar zona konservasi Global Geopark UNESCO”.
Namun, apakah klaim batas administratif ini benar-benar menihilkan dampak lingkungan yang tak terhindarkan? Mari kita telusuri lebih dalam dengan kacamata geologi dan geolingkungan.
Pulau Gag Bukan Karst Murni, tapi Titik Rawan yang Tersembunyi.
Secara geologis, kepulauan Raja Ampat identik dengan bentang alam karst, terbentuk dari pelarutan batuan gamping selama jutaan tahun.
Formasi unik ini menciptakan pulau-pulau kerucut, gua, dan laguna tersembunyi yang menjadi magnet utama.
Namun, jangan salah sangka, gambaran geologi kepulauan ini tidak seragam.
Khusus untuk Pulau Gag, meskipun secara geografis bagian dari Raja Ampat, komposisi geologinya berbeda signifikan dari pulau-pulau karst lainnya.
Menurut makalah ilmiah “Cebakan Nikel Laterit di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat” oleh Permanadewi, Wahyudiono, dan Tampubolon (2017) dalam Buletin Sumber Daya Geologi Volume 12 Nomor 2, Pulau Gag justru merupakan gudang bijih nikel laterit yang melimpah.
Makalah ini menjelaskan bahwa sekitar dua pertiga Pulau Gag didominasi oleh kompleks ofiolit, batuan ultramafik seperti serpentinit dan harzburgit, yang merupakan hasil pengangkatan kerak samudra purba akibat pergerakan tektonik.
Nikel laterit di Pulau Gag terbentuk melalui pelapukan kimia intensif pada batuan ofiolit tersebut. Bijih nikel sekunder terendapkan kembali dalam horizon tanah penutup, limonit, dan saprolit setelah mengalami
pengayaan.
Analisis sampel menunjukkan kandungan nikel yang signifikan, bisa mencapai 1,2% Ni.
Realitas geologi inilah yang membedakan Pulau Gag dari pulau-pulau karst murni Raja Ampat, sekaligus menyoroti bahwa potensi nikel di sini didasari data geologi valid, bukan sekadar isu manipulatif.
Ketika Batas Administratif Tak Mampu Bendung Kerusakan Bahaya Air Tercemar

Argumen “di luar zona konservasi” seringkali dipakai untuk meredakan kekhawatiran publik. Namun, pandangan ini mengabaikan prinsip dasar ekologi dan geolingkungan: bahwa lingkungan adalah satu sistem yang hidup dan saling terkait (one living system).
Sama halnya dengan bagaimana penambangan di daerah lain di Indonesia telah menyebabkan kerusakan ekologis meluas dan berjangka panjang di luar area lindung, dampak di Raja Ampat pun tak akan terbatas pada titik penambangan.
Menganggap demikian sama dengan mengabaikan hukum alam. Dampak utamanya adalah pencemaran air yang berpotensi mematikan.
Pembukaan lahan dan aktivitas penambangan akan meningkatkan erosi tanah secara drastis. Sedimen berupa lumpur dan partikel halus yang terbawa air hujan akan berakhir di laut, mencemari perairan pesisir, dan paling fatal adalah merusak terumbu karang.
Terumbu karang, fondasi ekosistem laut Raja Ampat, sangat rentan terhadap peningkatan sedimen yang bisa mengubur dan mencekiknya, menghalangi cahaya matahari untuk alga simbiosisnya, dan mengganggu proses makan mereka.
Selain itu, proses penambangan nikel di Pulau Gag sangat berpotensi menghasilkan limbah dan pencemaran logam berat.
Racun ini dapat larut dalam air dan menyebar luas, mencemari biota laut yang hidup di terumbu karang, dan pada akhirnya mengancam seluruh rantai makanan.
Terumbu karang, sebagai organisme yang sangat sensitif, akan menjadi korban pertama dari perubahan kualitas air akibat cemaran logam berat ini.
Geopark, Pariwisata, dan Ancaman Fatal bagi Status UNESCO
Raja Ampat dikenal luas bukan hanya karena keindahan bawah lautnya, tetapi juga bentang alam darat yang menakjubkan, diakui sebagai geosites dalam konteks Global Geopark UNESCO.
Konsep geowisata di sini berakar kuat pada kekayaan geologi dan keunikan bentang alamnya, menjadi daya tarik utama wisatawan
global.
Aktivitas penambangan di Pulau Gag, bahkan jika di luar zona inti, secara fundamental mengancam pondasi pariwisata Raja Ampat, khususnya melalui dampak pencemaran air pada ekosistem laut.
Keindahan bawah laut Raja Ampat, dengan terumbu karang yang sehat dan keanekaragaman biota lautnya, adalah magnet utama pariwisata.
Pencemaran air yang diakibatkan penambangan, baik dari sedimentasi maupun paparan logam berat, akan secara langsung dan fatal merusak atau bahkan membunuh terumbu karang.
Kerusakan ini tidak hanya menghilangkan keindahan visual, tetapi juga menghancurkan habitat ribuan spesies ikan
dan biota laut lainnya.
Dampaknya akan berantai pada industri pariwisata lokal, yang mengandalkan
keajaiban bawah laut ini sebagai tulang punggung ekonomi masyarakat. Kehilangan terumbu karang berarti hilangnya pendapatan dan mata pencarian bagi banyak warga yang bergantung pada sektor ini.
Lebih jauh, status Global Geopark UNESCO tidak hanya soal pengakuan, tetapi juga komitmen pada prinsip keberlanjutan.
Prinsip keberlanjutan, sebagaimana diatur UNESCO untuk geopark, menuntut pengelolaan wilayah yang melindungi warisan geologi, ekologi, dan budaya, sekaligus mendukung pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Aktivitas penambangan, yang bersifat ekstraktif dan merusak lingkungan laut secara permanen, secara inheren bertentangan langsung dengan prinsip
keberlanjutan ini. Jika terjadi kerusakan lingkungan yang signifikan akibat penambangan, terutama kematian terumbu karang dan pencemaran ekosistem laut, hal itu akan diinterpretasikan sebagai kegagalan dalam memenuhi komitmen keberlanjutan.
Konsekuensinya, status Global Geopark Raja Ampat sangat mungkin dicabut oleh
UNESCO. Ini bukan sekadar kehilangan prestise, melainkan hilangnya peluang pembangunan berkelanjutan berbasis pariwisata dan edukasi yang telah dibangun dengan susah payah, serta reputasi Raja
Ampat sebagai ikon konservasi bahari dunia.
Mempertahankan Warisan Dunia yang Terancam Tanggung Jawab Bersama
Isu penambangan di Raja Ampat harus dilihat sebagai ancaman holistik terhadap seluruh ekosistem, tanpa memandang batas administratif zona konservasi.
Klaim bahwa lokasi penambangan di luar zona konservasi UNESCO tidak relevan ketika berbicara tentang dampak lingkungan yang saling berkaitan.
Raja Ampat adalah satu kesatuan ekosistem yang rentan, di mana setiap komponennya saling memengaruhi. Sudah saatnya kita melihat Raja Ampat sebagai warisan geologi dan ekologi dunia yang harus dijaga
bersama.
Pemerintah daerah dan pusat harus segera melakukan evaluasi dampak lingkungan (AMDAL) yang independen, transparan, dan melibatkan pakar geologi serta lingkungan yang tidak terafiliasi dengan kepentingan penambangan.
Sementara itu, masyarakat sipil, akademisi, dan pegiat lingkungan harus terus mengawal isu ini, menyuarakan kekhawatiran, dan memastikan akuntabilitas dalam setiap keputusan yang diambil.
Setiap aktivitas yang berpotensi merusak, sekecil apapun, harus ditinjau ulang secara mendalam, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan, masyarakat, citra internasional
Raja Ampat, dan bahkan potensi hilangnya status Global Geopark.
Keberlanjutan adalah kunci, dan kita tidak bisa mengorbankan masa depan Raja Ampat demi keuntungan sesaat.
**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel