KOMPARASI.ID – DPRD Provinsi Gorontalo resmi membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menangani persoalan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Gorontalo.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna ke-16 sebagai respons atas berbagai aduan masyarakat Kecamatan Pulubala terkait penguasaan lahan oleh PT Palma Group.
Aduan tersebut mencakup dugaan perubahan status lahan bersertifikat Hak Milik (SHM) menjadi Hak Guna Usaha (HGU) tanpa sepengetahuan pemilik, serta ketidaksesuaian dalam pembagian hasil plasma yang dinilai merugikan masyarakat.
Permasalahan ini mencuat sejak 26 Agustus 2024 ketika seorang warga bernama Yamin Dopa menyampaikan keluhannya kepada DPRD Provinsi Gorontalo.
Aduan serupa kembali muncul pada 11 November 2024, ketika 18 warga dari Kecamatan Pulubala mendatangi Komisi I DPRD untuk menyuarakan keresahan mereka.
Sebagai tindak lanjut, Komisi I melakukan kunjungan kerja ke kantor PT Palma Group di Kecamatan Pulubala pada 7 Desember 2024.
Kunjungan ini bertujuan untuk meninjau langsung situasi di lapangan sekaligus meminta klarifikasi dari pihak perusahaan.
Pada 9 Desember 2024, Komisi I menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dihadiri oleh Dinas Pertanian, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Gorontalo, serta perwakilan PT Palma Group. Dari rapat tersebut terungkap beberapa temuan penting.
Sebagian lahan warga yang telah bersertifikat SHM telah berubah status menjadi HGU tanpa persetujuan pemiliknya.
Beberapa warga mengaku tidak mengetahui bahwa lahan mereka telah diserahkan ke perusahaan, karena saat penandatanganan dokumen, mereka tidak memahami isi perjanjian tersebut.
Masyarakat di sekitar perkebunan sawit tidak memiliki akses untuk mengelola kebun plasma sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Pembagian hasil yang diterima warga sangat minim. Seorang warga Desa Puncak, Kecamatan Pulubala, Idris Buhu, yang memiliki lahan 6,7 hektare, hanya menerima Rp344.000 selama satu tahun dari Koperasi Petani Sawit.
Sejak 2014, PT Palma Group telah membebaskan lahan seluas 8.530 hektare untuk perkebunan sawit.
Namun, baru 5.857 hektare yang berstatus HGU, sementara 2.673 hektare lainnya belum dialihkan.
Ketidaksesuaian status lahan ini dinilai merugikan negara, karena menyebabkan hilangnya pendapatan dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta pajak terkait perkebunan.
Sesuai PP No. 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, lahan yang tidak dimanfaatkan dalam waktu lama seharusnya dikembalikan ke negara untuk kepentingan masyarakat, termasuk reforma agraria.
Mengingat kompleksitas masalah ini, Komisi I DPRD Gorontalo bersama Wakil Ketua DPRD, Ridwan Monoarfa, sepakat bahwa permasalahan ini tidak bisa lagi ditangani hanya oleh Komisi I.
Oleh karena itu, DPRD membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menangani polemik perkebunan sawit secara lebih komprehensif.
Dalam rapat tersebut, DPRD juga meminta pandangan dari delapan fraksi. Lima fraksi menyampaikan sikap mereka secara terbuka, sementara tiga lainnya menyerahkan pandangan secara tertulis.
Wakil Ketua DPRD Gorontalo, La Ode Haimudin, menyatakan bahwa semua fraksi sepakat dengan pembentukan Pansus.
“Dari delapan fraksi, semuanya satu suara dalam menyetujui lahirnya Pansus ini,” ujar La Ode.
Ia menilai kehadiran Pansus menjadi langkah penting untuk menyelesaikan masalah sawit yang selama ini dinilai belum membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
“Ternyata kehadiran sawit belum memberikan kesejahteraan, justru menyengsarakan rakyat,” tegasnya.
Ia berharap Pansus bisa bekerja secara independen dan profesional dalam mengumpulkan data serta fakta yang akurat.
Dengan demikian, hasil temuan Pansus nantinya bisa menjadi rekomendasi kuat bagi Pemerintah Provinsi Gorontalo.
Pansus ini diketuai oleh Umar Karim, dengan Meyke Kamaru sebagai sekretaris, serta beranggotakan Fikram Salilama, Ghalieb Lahidjun, Ayis Ayuba, Wahyudin Moridu, Hamsah Muslimin, dan sejumlah anggota lainnya.
Ketua Pansus, Umar Karim, menegaskan bahwa dirinya siap menjalankan amanat ini, terlebih karena keputusan pembentukan Pansus diambil secara aklamasi.
“Ini amanat paripurna dan luar biasa, karena disepakati tanpa perbedaan pendapat. Enam fraksi mendukung penuh, satu fraksi tidak menyatakan sikap, namun keputusan tetap diambil secara aklamasi,” kata Umar.
Menurutnya, persoalan utama yang harus ditelusuri adalah status lahan masyarakat yang tiba-tiba berubah menjadi HGU.
“Banyak masyarakat yang mengaku tidak pernah merasa menyerahkan tanah mereka ke perusahaan. Mereka hanya menandatangani perjanjian kontrak, tapi tiba-tiba tanah mereka menjadi HGU,” ungkapnya.
Umar Karim menambahkan, Pansus akan memanggil berbagai pihak, termasuk BPN dan instansi terkait, untuk menelusuri permasalahan ini.
“Jika ada cukup bukti, rekomendasi yang kami berikan bisa bermacam-macam, tergantung perkembangan temuan di lapangan. Yang pasti, kami akan menangani masalah ini secara profesional dan objektif,” tegasnya.
Terkait aspirasi masyarakat yang meminta pengembalian lahan, Umar Karim mengatakan, hal tersebut masih akan ditelusuri lebih lanjut sebelum DPRD mengambil kesimpulan dan merekomendasikan langkah selanjutnya.
Pansus perkebunan sawit memiliki masa kerja enam bulan. Namun, jika dalam periode tersebut masalah belum terselesaikan, masa kerja bisa diperpanjang.
“Kami akan mencoba bekerja secepat mungkin. Namun, jika dalam enam bulan belum tuntas, maka bisa diperpanjang,” tandasnya.
**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel