KOMPARASI.ID – DPRD Provinsi Gorontalo melalui Komisi I Bidang Hukum dan Pemerintahan bersama Komisi III Bidang Perencanaan dan Pembangunan menggelar rapat kerja gabungan bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan sejumlah stakeholder terkait.
Rapat berlangsung di Ruang Rapat Dulohupa, Selasa (23/9/2025).
Agenda utama rapat tersebut membahas persoalan sengketa lahan yang kian marak terjadi di berbagai daerah di Provinsi Gorontalo.
Anggota Komisi I DPRD Gorontalo, Umar Karim, mengungkapkan sejumlah persoalan yang dinilai berpotensi merugikan masyarakat maupun daerah. Salah satunya terkait praktik penguasaan lahan oleh perusahaan dalam skala luas.
“Kami khawatir kalau ekspansi perusahaan semakin meluas, masyarakat – terutama kelompok miskin – justru terdorong menjual tanah mereka. Akibatnya masyarakat kehilangan sumber penghidupan, sementara lahan produktif kita dikuasai oleh perusahaan, bukan lagi petani,” ungkap Umar Karim.
Komisi I dan Komisi III sepakat untuk segera melakukan peninjauan lapangan.
Dugaan tumpang tindih lahan serta praktik penguasaan lahan oleh PG Tolangohula sejak tahun 2013 menjadi sorotan utama.
Padahal, status Hak Guna Usaha (HGU) baru akan diusulkan, sehingga daerah dinilai kehilangan potensi pendapatan dari pajak HGU.
“Ini potensi kecurangan yang merugikan daerah. Seharusnya lahan yang dikuasai segera dikonsesikan agar pemerintah mendapat pemasukan dari pajak,” tegas peserta rapat.
Selain itu, aspirasi petani tebu terkait standar harga juga turut mengemuka. PG Tolangohula dinilai tidak konsisten dalam menetapkan harga beli tebu sesuai standar pemerintah.
Bahkan, ada laporan masyarakat bahwa perpanjangan izin HGU diulur-ulur, hingga menimbulkan kerugian karena mereka kehilangan akses atas lahan, termasuk sekitar 400 pohon yang ditanam di atas tanah tersebut.
Rapat juga menyinggung keterlibatan mantan pejabat pertanahan dalam perusahaan terkait serta dugaan upaya menghindari pajak.
Untuk itu, DPRD menegaskan pentingnya verifikasi langsung di lapangan agar data dan temuan dapat dipastikan secara faktual.
Isu lain yang ikut dibahas adalah polemik lahan di sekitar Danau Limboto serta lahan pembangunan bandara.
Dalam kasus bandara, meski sudah ada putusan pengadilan, pembayaran ganti rugi belum jelas siapa yang bertanggung jawab, apakah pemerintah provinsi, operator bandara, atau Kementerian Perhubungan.
Komisi I dan Komisi III bersepakat untuk berkoordinasi lebih lanjut dengan instansi terkait, termasuk Kementerian Perhubungan, dan akan melanjutkan rapat kerja pada pertemuan selanjutnya.
“Yang pasti, kami akan mengawal persoalan ini, memastikan masyarakat tidak dirugikan, dan daerah tidak kehilangan hak pendapatannya,” pungkas pimpinan rapat.