Wacana Redenominasi Rupiah Menguat, Ini Penjelasan dan Dampaknya bagi Masyarakat

KOMPARASI.ID, Jakarta – Wacana redenominasi rupiah kembali mencuat setelah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa membuka rencana penyederhanaan nilai nominal rupiah yang dinilai terlalu banyak menyisipkan angka nol.

Rencana tersebut termuat dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan (Renstra) 2025–2029, yang ditetapkan melalui PMK Nomor 70 Tahun 2025 per 10 Oktober 2025.

Dalam aturan itu disebutkan bahwa Rancangan Undang-Undang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang ditargetkan rampung pada tahun 2027.

Hal itu tertuang jelas dalam dokumen resmi yang dipublikasikan Minggu, 9 November 2025.

Menkeu Purbaya, dalam keterangannya yang diwartakan Metro TV, menegaskan bahwa tujuan utama kebijakan ini adalah meningkatkan efisiensi perekonomian nasional melalui penyederhanaan sistem transaksi dan pencatatan.

Baca Juga :  Libur Sekolah Ramadan 2025, Kebijakan Disepakati, Tinggal Tunggu Pengumuman Resmi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah daya beli maupun nilai tukarnya.

Ini berbeda dengan sanering yang berarti pemotongan nilai uang.

Contohnya, jika tiga angka nol dihilangkan, maka:

  • Rp1.000 menjadi Rp1
  • Rp10.000 menjadi Rp10
  • Rp100.000 menjadi Rp100

Harga barang juga tidak berubah. Jika air mineral dijual Rp5.000, setelah redenominasi cukup tertulis Rp5, dengan daya beli yang sama.

Kementerian Keuangan menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan merugikan masyarakat, karena yang berubah hanya cara penyebutan dan penulisan nominal.

Redenominasi bukan isu yang muncul tiba-tiba. Pemerintah dan Bank Indonesia sudah mengkaji gagasan ini sejak 2010.

Baca Juga :  Indonesia Paparkan Keberhasilan Pos Bantuan Hukum Desa di Forum JAC Madrid

Pada era sebelumnya, Menkeu Agus Martowardojo bahkan sempat mengajukan RUU serupa ke DPR dan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2013.

Kini, wacana tersebut dihidupkan kembali di bawah kepemimpinan Menkeu Purbaya.

Penyederhanaan nominal seperti Rp1.000 ke Rp1 dianggap penting karena, Efisiensi Sistem Keuangan.

Angka rupiah yang terlalu panjang kerap menimbulkan kerumitan dalam, pencatatan akuntansi, transaksi elektronik, software akuntansi, sistem IT perbankan, terutama untuk transaksi bernilai besar di atas Rp10 triliun.

Dengan mengurangi digit, potensi human error dapat ditekan dan efisiensi meningkat. Memperkuat Citra Rupiah, Rupiah yang lebih ringkas dinilai memberi kesan stabil, kredibel, dan modern di mata global.

Baca Juga :  Risiko Gagal Bayar Pinjaman Online, Denda Membengkak Hingga Skor Kredit Turun

Pemerintah berharap kebijakan ini, karena dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap rupiah, memperkuat persepsi ekonomi Indonesia, menumbuhkan rasa bangga terhadap mata uang nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *