KOMPARASI.ID – Di balik suksesnya penyaluran dan pendampingan Program Keluarga Harapan (PKH), ada ribuan pendamping sosial yang bekerja senyap di lapangan.
Mereka bukan sekadar perantara bantuan, tetapi jembatan antara kebijakan pemerintah dan kehidupan nyata masyarakat miskin yang berupaya keluar dari lingkar kemiskinan.
Pendamping PKH memiliki peran yang jauh melampaui tugas administratif. Mereka memastikan data penerima manfaat akurat, memfasilitasi pertemuan peningkatan kemampuan keluarga (P2K2), dan mengarahkan penerima manfaat agar mampu mandiri secara ekonomi.
“Pendamping bukan hanya bertugas menyalurkan bantuan, tapi juga menanamkan kesadaran baru bahwa bantuan ini harus menjadi langkah awal menuju kemandirian,” ujar Aat Ente, salah satu Pendamping Sosial PKH di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, Senin (4/11/2025).
Menurut Aat, setiap pertemuan dengan keluarga penerima manfaat adalah ruang belajar bersama.
Ia menilai, keberhasilan program PKH bukan diukur dari jumlah bantuan yang tersalur, tetapi dari berapa banyak keluarga yang bisa keluar dari daftar penerima karena sudah mandiri.
Tantangan Lapangan, Dari Data Tak Valid hingga Hambatan Budaya
Namun di balik semangat itu, tantangan di lapangan tidak sedikit. Data penerima manfaat yang tidak selalu valid, akses jalan ke lokasi terpencil, hingga penerima manfaat yang pasif menjadi hambatan tersendiri.
“Kadang harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk menemui satu keluarga. Ada yang tinggal di perbukitan tanpa sinyal, ada pula yang enggan terlibat dalam kegiatan P2K2 karena merasa sudah tahu semuanya,” ungkap Aat.
Ia menambahkan, di beberapa wilayah, budaya lokal juga menjadi tantangan tersendiri.
Misalnya, masih ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu bekerja atau belajar keterampilan baru, sehingga sulit untuk mendorong kemandirian ekonomi keluarga penerima manfaat yang mayoritas perempuan.
Peluang Inovasi, Teknologi, Pelatihan, dan Kolaborasi
Meski penuh kendala, Aat menilai peran pendamping PKH kini memiliki peluang besar untuk berkembang.
Salah satunya lewat pemanfaatan teknologi digital dalam mempercepat pelaporan dan validasi data.
“Sekarang sebagian besar pelaporan sudah lewat sistem online. Ini sangat membantu, apalagi di daerah yang aksesnya mulai membaik. Kami tidak perlu menunggu berhari-hari hanya untuk update data,” jelasnya.
Selain teknologi, Aat juga menekankan pentingnya pelatihan rutin dan kolaborasi antar-instansi.
Ia percaya, pendamping tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan lintas sektor.
“Ketika Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan lembaga pelatihan kerja saling terhubung, kita bisa menciptakan ekosistem pemberdayaan. PKH bukan hanya soal bantuan sosial, tapi juga pemberdayaan ekonomi dan perubahan mindset,” tambahnya.
Aat menceritakan salah satu keberhasilan yang ia saksikan sendiri. Di Desa Buntulia, seorang kepala rumah tangga penerima manfaat, berhasil mengembangkan usaha pertambangan berkat pendampingan intensif.
“Dulu dia selalu bilang, ‘saya tidak bisa, saya tidak punya modal’. Tapi setelah beberapa kali ikut pertemuan kelompok dan pelatihan, kini dia punya usaha pertambangan yang bahkan mempekerjakan orang lain,” tutur Aat dengan bangga.
Harapan ke Depan, Pendamping sebagai Agen Perubahan Sosial
Bagi Aat Ente, menjadi pendamping PKH bukan sekadar profesi, melainkan panggilan sosial.
Ia berharap ke depan, dukungan bagi pendamping semakin kuat agar mereka bisa menjalankan peran dengan lebih efektif.
“Pendamping itu garda terdepan negara di tengah masyarakat miskin. Kami yang melihat langsung bagaimana kehidupan di akar rumput, dan dari sanalah muncul harapan-harapan baru,” pungkasnya.













