Selayang Pandang Gorontalo sebelum menjadi Provinsi

Avatar

KOMPARASI.ID – Era Orde Lama (1945-1966) dari aspek sejarah, kewilayahan, potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM), Gorontalo tidak jauh berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

Terlebih lagi, jika ditinjau dari aspek sejarah dan ke-sejarahan, Gorontalo merupakan daerah yang memiliki jiwa patroitisme dan nasionalisme yang tinggi. Hal itu dapat dilihat dari pergerakan kebangsaan di Gorontalo yang menonjol dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.

Ali Mobiliu Pemerhati Sejarah mengatakan, Sebagai gambaran singkat, ketika daerah lain secara nasional, tahun 1942 masih bergelut melawan penjajah, Gorontalo sudah menyatakan kemerdekaannya, terbebas dari penjajah, yang dipelopori oleh Pahlawan Nasional Nani Wartabone.

Semenjak tahun 1942 itu, Gorontalo menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang memiliki Pemerintahan tersendiri yang terlepas dari pengaruh penjajah Belanda yang dikenal dengan nama Pucuk Pimpinan Pemerintah Gorontalo (PPPG) yang beranggotakan 12 orang. Selanjutnya pada tanggal 5 November 1945 dibentuk Dewan Nasional.

Selanjutnya, Gorontalo berada di bawah teritorial Pemerintah Sulawesi yang beribukotakan Makassar dengan Gubernur pertama Dr. Sam Ratulangi. Salah satu daerah tingkat II di Provinsi Sulawesi adalah Kabupaten Sulawesi Utara yang terdiri dari Bolaang Mongondow, Gorontalo dan Buol Toli-Toli yang ber ibukotakan Gorontalo

Selanjutnya, Gorontalo menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara-Tengah-Tenggara (Sulutengg). Tahun 1959, Gorontalo menjadi sebuah Kabupaten bagian dari Provinsi Sulutengg dengan Bupati pertamanya Ahmad Ali Wahab.

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1960, Provinsi Sulutengg dilebur dan lahirlah Provinsi Sulawesi Utara-Tengah (Suluteng) dengan Gubernur pertama AA Baramuli. Tahun 1961, Kabupaten Gorontalo dimekarkan dan lahirlah Kota Swapraja Gorontalo yang menjadi bagian dari Provinsi Suluteng dengan Walikota pertama Atje Slamet yang menjabat hingga tahun 1963.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1964, Provinsi Suluteng dimekarkan lagi dan lahirlah Provinsi Sulawesi Utara dengan Gubernur pertama Letkol FJ Tumbelaka. Kota Swapraja Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo akhirnya menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara.

Kata Ali, Meskipun pernah menjadi ibukota Kabupaten Sulawesi Utara pada era tahun 1940-1950-an, namun fasilitas pemertahanan, pendidikan dan kondisi perekonomian Gorontalo bisa disebut masih sangat terpuruk. Hal ini semakin diperparah lagi dengan peristiwa Permesta tahun 1958-1959 dan Peristiwa G30 S /PKI tahun 1965.

Meski demikian, Selama masa pergolakan dan ketidakstabilan politik dan pemerintahan yang berdampak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat sangat sulit, namun semangat nasionalisme rakyat Gorontalo tidak pernah padam.

Pada peristiwa Permesta tahun 1968 misalnya, Pahlawan Nasional Nani Wartabone bersama pasukan Rimbanya tetap berpihak pada “Pusat” dengan melakukan gerilya, masuk dan keluar hutan untuk melawan para pemberontak dan terus menggelorakan semangat nasional-isme di tengah masyarakat.

Demikian pula dengan partisipasi politik rakyat Gorontalo. Pada Pemilu 1955 misalnya, menurut catatan Verianto Madjowa (2015), Partai Masyumi menduduki posisi pertama dengan perolehan suara sebanyak 37,35 persen, disusul Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 35,78 persen, PNI (12,45 persen dan Partai NU sebesar 11,27 persen.

Hal ini menunjukkan bahwa di era Orde lama, terutama tahun 1950-an, meski dalam kondisi kehidupan ekonomi yang sulit, namun kekuatan Partai Islam di Gorontalo cukup mengakar. Hal ini tak terlepas dari semangat Kesilaman rakyat Gorontalo yang cukup kental.

Ali Mobiliu dalam penjelasannya, Menurut catatan Basri Amin (2013), pada Pemilu 1955, PSIIm ampu mengantarkan Intan Permata sebagai Walikota Manado yang memerintah dari tahun 1955-1958. Terpilihnya Intan Permata sebagai Walikota ketika itu, tidak terlepas dari peran dan partisipasi politik rakyat Gorontalo yang

bermukim di Kota Manado yang jumlahnya cukup signifikan. Hal ini diperkuat lagi dengan terpilihnya tokoh PSII yang beretnis Gorontalo bernama Ahmad Husain yang mampu menduduki jabatan sebagai Ketua DPRD-GR tahun 1967-1971.

Meski tidak ada catatan resmi se- berapa besar jumlah atau populasi penduduk Gorontalo di Manado, namun dari indikator tersebut menunjukkan bahwa, Kota Manado pada era Orde lama masih menjadi pilihan bagi rakyat Gorontalo untuk memperbaiki kehidupan ekonomi yang lebih baik. Kondisi itu diperkuat lagi dengan keberadaan fasilitas-fasilitas pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi di Gorontalo yang masih sangat minim.

Lanjut Jurnalis Senior itu, Perguruan Tinggi di Gorontalo baru tercetus pada awal tahun 1960 dengan berdirinya Yunior College tahun 1961 yang menjadi cikal bakal lahirnya Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsrat Manado Filial Gorontalo dan menjadi Perguruan Tinggi otonom yang ter- pisah dari Unsrat nanti pada era tahun 1990-an.

Awal tahun 2000, kampus ini menjadi IKIP Negeri Gorontalo dan tahun 2004 menjadi Universitas Negeri Gorontalo. Itulah perguruan tinggi satu-satunya di Gorontalo di era Orde lama yang terus berlanjut di era Orde baru, yang disusul kemudian dengan hadirnya IAIN Alaudin Makassaar Filial Gorontalo di era tahun 1970-an.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa selama rentang masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan masyarakat Gorontalo masih sangat memprihatinkan. Menurut penuturan para sesepuh Gorontalo, mayoritas rakyat Gorontalo, terutama yang hidup di pelosok-pelosok desa tidak mengenyam pendidikan, buta huruf dan kalaupun ada, hanya lulusan paling tinggi Sekolah Rakyat (SR). Itupun jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.

Gorontalo tahun 1998/foto.ist

Gorontalo, Era Orde Baru, 1966-1998

Setelah pemerintahan Orde baru tahun 1966, Gorontalo menjadi 2 Daerah tingkat 2, yakni Kota Swapraja Gorontalo telah berubah menjadi Kota Madya Dati II Gorontalo yang terdiri dari 4 Kecamatan, yaknI Kec. Kota Utara, Kota Barat, Kota Utara dan Kota Selatan.

Sementara Kab. Dati II Gorontalo yang terbentuk tahun 1959, hingga tahun 1999 ter- diri dari 16 Kecamatan yang terbentang dari Kecamatan Suwawa di sebelah Timur, di bagian Barat Popayato, dibagian Utara Atinggola dan bagian Selatan Kec. Batudaa

Ditiinjau dari aspek kewilayahan, jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Sulawesi Utara, kawasan Gorontalo meru- pakan yang terluas, yakni mencapai sekitar 46 persen dari wilayah Sulawesi Utara.

Demikian juga dengan jumlah populasi penduduk. Hingga tahun 2000, jumlah penduduk Gorontalo merupakan yang terbanyak di Sulawesi Utara, sekitar 897.235 jiwa. Sementara suku Minahasa menduduki p osisi kedua, memiliki populasi sebanyak 824.600 jiwa.

Dengan komposisi wilayah dan jumlah penduduk yang terbanyak, maka tidak ada kekhawatiran, jika dalam tataran politik dan pemerintahan di Sulawesi Utara, Gorontalo memiliki pengaruh yang cukup signifikan.

Artinya, posisi tawar-menawar Gorontalo di pentas politik Sulawesi Utara semenjak Pemilu 1955 hingga orde baru mewarnai dinamika perpolitikan di Manado.

Basri Amin, Hasanudin dan Rustam Tilome dalam Bukunya Mengukuhkan Jati Diri, Dinamika Pembentukan Provinsi Gorontalo, yang diterbitkan Penerbit Ombak (2013) menje-laskan, di era tahun 1960-an, tokoh PSII yang berlatar belakang etnis Gorontalo yang berdomisli di Manado pernah menciptakan Ketua DPRD Provinsi Gotong-Royong

Pidato Soekarno di Gorontalo/foto:ist

 

Sulawesi Utara periode 1967-1971.

Mulai era Orde Baru, tokoh-tokoh Gorontalo di pentas politik dan pemerintahan di Sulawesi Utara mulai bermunculan, sebut saja misalnya, Abdullah Amu dari TNI Angkatan Darat pernah menjadi Jabatan Gubernur Sulawesi Utara dari tahun 1966-1967,

Rauf Mo’o (TNI-AD) juga pernah menjabat Walikota Manado periode 1966-1971 disusul kemudian dengan kehadiran tokoh-tokoh seperti Ahmad Nadhjamudin, pada era tahun 1980-an dan Hasan Abas Nusi yang pernah menjadi Wakil Gubernur Sulawesi Utara di era tahun tersebut 1990-an dan tokoh-tokoh lainnya.

Sementara itu, tokoh-tokoh pemimpin di Gorontalo pada semua tingkatan pada era Orde baru, didominasi oleh alumni perguruan tinggi dari Manado, selebihnya dari perguruan tinggi Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *