Semangat “Mo’awota” dan Sejarah Peradaban Gorontalo dari Masa ke Masa

Avatar
Gorontalo.foto : ist

KOMPARASI.ID- Silaturahim atau Silaturahmi dalam perspektif Islam mengandung arti dan makna yang sama dengan “Mo’a-wota” dalam tatanan dan kearifan lokal budaya Gorontalo. 

Dalam Bahasa Gorontalo, “Moawota Memiliki Makna Sebagai Semangat untuk Berbaur, berkumpul bersama, saling mendekat (Modudula) untuk memelihara hubungan interaksi dan hubungan kedekatan, dalam kerangka mencapai sesuatu atau menyelesaikan suatu persoalan secara elegan, terhormat dan penuh kekeluargaan.

Ali Mobiliu Pemerhati Sejarah mengatakan, Dalam Manifestasinya, semangat “Mo’a-wota merupakan istilah umum yang kemudian berkembang melahirkan sub-sub hubungan dan interaksi secara harmonis ke dalam pranata kehidupan masyarakat Gorontalo,

seperti dalam istilah Motolongala’a (berkeluarga), Motoloti-hedu (bertetangga), motonggolipu (bermasyarakat) maupun termanifestasikan kedalam bentuk interaksi yang lebih kecil seperti “moti’ayo”, motiti’ayowa”,Jika ada warga yang menanam atau membangun rumah.

Mo’awota merupakan penjelmaan dari panggilan bersama untuk “Moheluma” (saling mengajak,bersepakat,persekutuan) untuk menjalin kebersamaan menyelesaikan suatu persoalan.

Kata Ali, Hal ini merupakan salah satu Manifestasi dari ajaran leluhur Gorontalo dalam merawat semangat persatuan dan kesatuan, seperti yang tercermin dari istilah “Buhuta waw walama, yakni semangat untuk “mengikatkan diri” kedalam satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan bersama.

Peta pulau Sulawesi di jaman Belanda/foto:ist

Jika merujuk pada sejarah peradaban masyarakat Gorontalo Dari masa ke masa,maka tradisi “Mo’awota” sudah menjadi ruh dan spirit para leluhur Gorontalo dalam merawat eksistensi Gorontalo Hingga Hari Ini.

Ungkapan Itu dapat dilihat dari beberapa peristiwa penting yang tercetus dalam ratusan tahun di daratan Gorontalo antara Lain:

Pertama, Lahirnya Kerajaan(Linula) Tuwawa (Suwawa sekarang) pada sekitar abad V Masehi, menurut tokoh adat Suwawa A.R Maksum (2015) merupakan buah dari semangat “moawota” antara komunitas masyarakat “Pidodotiya” di Bangio (Pinogu sekarang) dengan kelompok

masyarakat “witohiya” yang telah terpencar membentuk empat Linula di luar kawasan Bangio, yakni Linula Linggongo, Linula Butage, Linula Motabi’u dan Linula Wagewo yang kesemuanya berada di Sinandaha Bolsel sekarang, Molin-togupo dan Bonedaa.

Semangat Moawota antar kedua kelompok ini pada akhirnya melahirkan sebuah konsensus bersama hingga tercetus persekutuan Linula (Kerajaan) “Tuwawa” yang merupakan padanan dari kata “Towawa’a-tuwawu” atau satu badan, satu tubuh yang tidak boleh saling menyakiti, tapi tetap bersatu dalam satu kesatuan keluarga yang utuh di bawah panji semangat persaudaraan “bowaliLo’-tuwewu” atau bowalilo’ungobungo” yang artinya hanya berasal dari satu rumpun keluarga besar.

Kerajaan Suwawa yang berpusat pada sebuah bangsal bernama“ Leda-Leda ini mampu eksis beratus-ratus tahun lamanya hingga berakhir pada penghujung abad XVIII setelah penjajah Belanda melakukan intervensi terhadap sistem pemerintahan tradisional di Gorontalo.

Pokok-pokok pikiran tentang masa depan Gorontalo itu akan dibukukan menjadi sebuah “dokumen besar” untuk menggagas sekaligus menjadi rujukan bagi siapapun untuk mewujudkan kemajuan dan kemakmuran rakyat Gorontalo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *