KOMPARASI.ID – Pramoedya Ananta Toer tidak hanya hidup dalam buku-buku yang ditulisnya.
Pemikirannya terus berdenyut, meresap ke berbagai ruang, termasuk ke sebuah pasar tradisional di pelosok Gorontalo.
Sabtu (08/02/2025), Pasar Ambuwa di Bone Bolango menjelma menjadi arena penghormatan bagi sastrawan besar ini, bukan dengan pidato atau seminar, melainkan dengan tempurung kelapa, musik, dan transaksi unik yang menghidupkan kembali gagasannya.
Di tengah aroma rempah dan suara riuh para pedagang, pengunjung disambut dengan pemandangan tak biasa, 100 tempurung kelapa berjejer, masing-masing dihiasi kutipan Pramoedya dan lukisan bernuansa perjuangan.
Sebuah panggung kecil didirikan, tempat musisi lokal memainkan lagu-lagu bertema perlawanan, sementara di sudut lain, layar putih menampilkan film Bumi Manusia.

Bagi masyarakat Bone Bolango, Pramoedya bukan sekadar nama dalam sejarah sastra.
Ia adalah suara yang menolak dilenyapkan, dan hari itu, suaranya bergema melalui seni dan budaya yang tumbuh di pasar rakyat.
Awaludin Ahmad, salah satu pengelola Pasar Ambuwa, menyebutkan bahwa acara ini melibatkan berbagai komunitas seni, musisi, dan pengunjung setia pasar.
“Kami ingin mengenang Pram dengan cara yang lebih dekat dengan keseharian masyarakat, melalui seni dan budaya. Ada melukis 100 tempurung untuk Pramoedya, pertunjukan musik, dan nonton bareng film Bumi Manusia,” ujar Awaludin.
Melukis tempurung menjadi simbol perlawanan yang diam, namun tetap bersuara, mirip dengan Pramoedya yang tetap menulis meski dibungkam dalam tahanan.

Goresan warna di atas tempurung itu menggambarkan kutipan-kutipan dari karya-karya Pram, seolah memberi napas baru pada gagasannya.
Lebih dari sekadar seremoni, perayaan ini juga memberi ruang bagi mereka yang ingin membawa pulang lebih dari sekadar kenangan.
Pengelola pasar membagikan tiga koin tempurung sebagai alat transaksi khas Pasar Ambuwa kepada pengunjung yang datang dengan membawa buku Pramoedya atau mengenakan kaos bergambarkan dirinya.
“Pikiran-pikiran Pram itu penting untuk terus direnungkan. Makanya, Pram tidak hanya berhenti di 100 tahun, tapi dia abadi,” lanjut Awaludin.
Di Pasar Ambuwa, Pramoedya bukan sekadar nama dalam sejarah sastra Indonesia.
Ia menjadi obrolan di antara pengunjung pasar, muncul dalam sapuan kuas di tempurung kelapa, dan hadir dalam transaksi kecil yang menghidupkan kembali gagasannya, bahwa kata-kata bisa membangun peradaban.
**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel