KOMPARASI.ID – Lembaga legislatif memiliki peran penting dalam sistem pemerintahan demokratis. Prinsip dasar demokrasi menekankan pada representasi rakyat dan pemisahan kekuasaan.
Namun, kinerja lembaga legislatif di berbagai negara berbeda tergantung pada sistem politik, budaya hukum, dan dinamika politik yang berlaku.
Amerika Serikat, Sistem Presidensial dengan Checks and Balances Kuat
Lembaga legislatif di Amerika Serikat menggunakan sistem presidensial dengan Kongres yang terdiri dari dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kongres memiliki kewenangan luas dalam pembuatan undang-undang, pengawasan eksekutif, dan persetujuan anggaran. Namun, sering kali terjadi kebuntuan dalam proses legislasi akibat perbedaan politik antarpartai.
Sistem checks and balances memastikan adanya akuntabilitas yang kuat, tetapi polarisasi politik sering memperlambat pengambilan keputusan.
Contohnya adalah kebuntuan dalam pengesahan anggaran federal yang beberapa kali menyebabkan penutupan pemerintahan (government shutdown).
Inggris,Kecepatan Legislasi dalam Sistem Parlementer
Di Inggris, sistem parlementer memungkinkan eksekutif berasal dari legislatif, sehingga memiliki kontrol lebih besar terhadap agenda legislasi.
Parlemen terdiri dari House of Commons dan House of Lords. Keputusan dapat diambil dengan cepat karena eksekutif didukung oleh mayoritas di parlemen.
Namun, dominasi eksekutif terhadap legislatif dapat mengurangi efektivitas pengawasan terhadap pemerintahan. Misalnya, dalam beberapa kasus, pemerintah dengan mayoritas besar dapat dengan mudah meloloskan kebijakan tanpa banyak perdebatan substantif di parlemen.
Jerman, Sistem Parlementer dengan Federalisme
Jerman menerapkan sistem parlementer dengan federalisme, yang memperkuat peran legislatif dalam mendistribusikan kekuasaan ke negara bagian. Bundestag sebagai majelis rendah dan Bundesrat sebagai majelis tinggi mewakili kepentingan daerah.
Sistem ini memberikan keseimbangan antara efisiensi legislasi dan keterwakilan regional. Namun, proses legislasi bisa lebih panjang akibat keterlibatan berbagai tingkat pemerintahan.
Sebagai contoh, undang-undang yang memengaruhi kebijakan negara bagian sering kali membutuhkan negosiasi yang kompleks antara Bundestag dan Bundesrat.
Prancis, Stabilitas dan Fleksibilitas dalam Sistem Semi-Presidensial
Prancis memiliki sistem semi-presidensial dengan parlemen yang terdiri dari Majelis Nasional dan Senat. Dinamika pemerintahan di negara ini unik karena adanya Presiden yang kuat dan Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
Hal ini menciptakan stabilitas dalam eksekutif sekaligus fleksibilitas dalam legislatif. Namun, sistem ini juga memiliki potensi konflik, terutama jika Presiden dan Perdana Menteri berasal dari partai yang berbeda, yang dikenal sebagai cohabitation.
Contoh nyata adalah periode ketika Presiden Jacques Chirac (partai kanan) harus bekerja sama dengan Perdana Menteri Lionel Jospin (partai kiri) pada akhir 1990-an.
Indonesia, Tantangan dalam Sistem Presidensial Multi-Partai
Indonesia menerapkan sistem presidensial dengan multi-partai. DPR dan DPD sebagai lembaga legislatif memiliki kewenangan dalam legislasi, pengawasan, dan anggaran. Representasi politik yang beragam memberikan ruang bagi berbagai aspirasi masyarakat.
Namun, tarik-menarik kepentingan di antara partai-partai sering menyebabkan proses legislasi berjalan lambat. Koalisi yang kompleks juga menjadi tantangan dalam efektivitas pengambilan keputusan di parlemen.
Misalnya, dalam beberapa periode pemerintahan, perdebatan panjang mengenai undang-undang strategis sering kali tertunda akibat dinamika politik antarfraksi.
**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel