KOMPARASI.ID, Gorontalo – Para tokoh pemangku adat di Provinsi Gorontalo saat ini,boleh disebut sedang “tidak baik-baik saja”. Ada keresahan, kekecewaan, kebingungan, bahkan sangat jelas terasa adanya benih-benih konflik yang tengah bergejolak “dalam diam” untuk sementara waktu.
Pemicunya, adalah sikap “ambigu” Penjabat Gubernur Gorontalo Ismail Pakaya yang nampaknya tidak tegas dalam mengambil sikap.
Bahkan, dari ucapan dan tindakannya selama ini, Lembaga Adat Provinsi Gorontalo mulai “curiga” terhadap sikap Penjabat Gubernur yang ditengarai cenderung mengabaikan keberadaan Lembaga Adat Provinsi Gorontalo.
Salah satunya, dapat dilihat dari keengganan Penjabat Gubernur untuk mengukuhkan Lembaga Adat Provinsi Gorontalo.
Sejatinya, bukan siapa yang lahir dan tercetus terlebih dahulu, bukan siapa yang sowan pertama kali ke Penjabat Gubernur setelah dilantik, bukan siapa “lebih dekat” dan “berjasa”, tapi yang menjadi rujukan seorang Penjabat Gubernur adalah “Landasan yuridis” terbentuknya sebuah lembaga adat.
Artinya, sebagai sosok “Tauwa Lo Lipu atau Olongia Lo Lipu”, prinsip “tidak memihak pada siapa-siapa”, sebagaimana yang terucap dari Penjabat Gubernur Ismail Pakaya, dapat disebut merupakan sebuah kekeliruan besar.
Seorang pemimpin itu harus tetap memihak, yakni memihak dan berdiri kokoh pada ketentuan hukum yang bersifat normatif. Itulah keteladanan sejati dari seorang pemimpin, yakni tunduk dan tegak lurus pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam tatanan pemerintahan di daerah, sesuai ketentuan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, kedudukan Peraturan Daerah (Perda), merupakan salah satu instrumen kebijakan yang berkekuatan hukum yang harus ditunaikan oleh Pemerintah Daerah.
Di Provinsi Gorontalo, landasan yuridis yang mengatur tentang kelembagaan adat sudah diatur dalam ketentuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2016 tentang Lembaga Adat.
Itu artinya, selama 7 tahun lamanya, amanat Perda yang pernah dilahirkan atas kerja-kerja Anggota DPRD Provinsi Gorontalo kala itu, ternyata mengendap, didiamkan alias tidak ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo.
Kejelasan mengenai keberadaan Perda tersebut, nanti terkuak ke publik di penghujung kepemimpinan Penjabat Gubernur Hamka Hendra Noer.
Dalam konteks ini dapat dipahami, bahwa Hamka Hendra Noer kala itu, mampu bertindak dan bersikap normatif serta ada itikad baiknya untuk memperbaiki “kekeliruan” pemerintahan sebelumnya sesuai ketentuan Perda yang berlaku.
Apalagi, Pemerintah Provinsi Gorontalo selama ini mengalokasikan dana hibah untuk Dewan Adat (Duwango Lo Adati) Provinsi yang bersumber dari APBD.
Sebenarnya, dalam pemikiran bijak Lembaga Adat yang terbentuk berdasarkan Perda Nomor 2 tahun 2016, kehadiran dan eksistensi Dewan Adat yang sudah ada sejak tahun 2013 lalu, tidaklah menjadi persoalan. Ada beberapa alasan diantaranya ;
- keberadaan Dewan Adat dapat saja dipandang sebagai atau seperti “LSM Adat” karena pendirian dan pembentukannya tidak berlandaskan pada ketentuan Peraturan Daerah.
- Dalam tataran Pemerintahan di Kabupaten/Kota selama ini, bahkan sebelum Provinsi Gorontalo terbentuk, yang diakui oleh pemerintah dan dikenal luas oleh masyarakat, adalah Lembaga Adat yang menaungi dan mengakar hingga di tingkat kecamatan dan desa.
- Setelah terbentuknya Lembaga Adat Provinsi Gorontalo yang sah sesuai ketentuan Perda, maka ada sebersit keyakinan, bahwa segenap tokoh adat di Gorontalo lambat-laun akan tetap menuju dan bermuara serta bernaung pada sebuah lembaga Adat yang berdiri di atas landasan yuridis yang sah dan berlaku di daerah. Itu artinya, keberadaan “Dewan Adat” yang konon memiliki dualisme kepengurusan itu akan tergerus dengan sendirinya dan lama-kelamaan akan ditinggalkan oleh tokoh adat.
Lebih jauh lagi dapat dipahami, bahwa eksistensi Dewan Adat selama ini, lebih disebabkan oleh adanya pengakuan secara “defakto” oleh pemerintah Provinsi, karena tidak adanya lembaga adat yang berdiri dan diakui secara “dejure”.
Oleh karena itu, sejak terbentuknya Lembaga Adat Provinsi Gorontalo berdasarkan Perda Nomor 2 tahun 2016, kelak akan memiliki posisi yang kuat dan “legitimate” karena dipandang sebagai satu-satunya wadah kelembagaan adat di Provinsi Gorontalo yang memiliki landasan yuridis yang jelas.
Selain itu, selama ini kata “Lembaga” adat lebih familiar di masyarakat Gorontalo yang mengakar hingga di tingkat kabupaten,kecamatan dan desa.
Apalagi keberadaan Lembaga Adat Provinsi Gorontalo saat ini, telah mengantongi Surat Keputusan yang ditandatangani (“opali Lo ulu’u”) “Lo Tauwa Lo Lipu”, dalam hal ini ditandatangani oleh Penjabat Gubernur Hamka Hendra Noer.
Sekarang yang dibutuhkan adalah pengakuan secara lisan “to wulito” Lo Olongia Lo Lipu yang baru, dalam hal ini Penjabat Gubernur Ismail Pakaya yang selanjutnya dapat dimanifestasikan melalui tindakan yang sepatutnya dan kebijakan konkrit sebagaimana mestinya.
Jika satu aspek terakhir itu terpenuhi, maka secara otomatis, tanpa dikomando sekalipun, para tokoh adat di Gorontalo akan bersatu untuk bernaung di Lembaga Adat Provinsi Gorontalo yang saat ini diketuai A.D. Khaly.
Hal itu bisa saja terjadi, karena para tokoh adat di Gorontalo memegang teguh ungkapan ” Ta’uwa Lolo’iya, Lo’ iya Lo Tauwa” yang akan didengar, ditaati dan dipatuhi” sebagaimana prinsip “debo ta dihu-dihu pantdungo” yang menjadi landasan bersikap dan bertindak masyarakat Gorontalo selama ini.
Oleh karena itu, menjadi sangat aneh, jika kemudian Penjabat Gubernur menempatkan diri untuk tidak memihak pada siapa-siapa.
Akibatnya, segenap pengurus Lembaga Adat Provinsi Gorontalo yang jelas-jelas dibentuk berdasarkan produk hukum pemerintah Provinsi sendiri, menjadi bingung bahkan tidak tertutup kemungkinan akan berujung pada kekecewaan.
Penjabat Gubernur mungkin lupa, bahwa Gorontalo memiliki wahana ‘ Dulohupa” sebagai instrumen pemersatu yang sudah ada gedung dan fasilitasnya yang secara bahasa mengandung makna sebagai tempat ” “Podudula Huhupa’a” di dalam permusyawaratan guna menghasilkan kemufakatan untuk kemudian berdamai serta bersatu sesudahnya.
Selain itu, sejak zaman dulu, tokoh adat di Gorontalo sudah sangat paham tentang prinsip “datahu huntdu Huidu” yang artinya “tuwango Lipu” atau rakyat, termasuk pemangku adatnya, menghormati dan menjunjung tinggi keputusan, “Lo iya Lo Ta’uwa” sepanjang itu sesuai dengan perangkat hukum yang berlaku.
Sejatinya dengan landasan pemikiran itu, Penjagub Ismail Pakaya harus mengambil keputusan yang jelas,tegas, berpihak dan berdiri tegak pada ketentuan hukum (Perda) yang berlaku di daerah yang dihasilkan oleh DPRD Provinsi Gorontalo.
Jika Penjabat Gubernur Ismail Pakaya mengaku malu dan menuding, bahwa tokoh adat “Wawahuwa” (rebutan), sebagaimana dilansir oleh media online Sulutgo di aplikasi tiktoknya, maka ungkapan itu, justru melukai dan menyakiti perasaan tokoh adat di Gorontalo.
Pemangku adat merasa sedang tidak “Wawahuwa”, justru kesan Wawahuwa itu muncul, karena ketidaktegasan Penjabat Gubernur yang lebih cenderung menggunakan “perasaan tidak enak” ketimbang berpihak pada lembaga yang dibentuk berdasarkan payung hukum yang jelas yang lahir dari rahim Pemerintah Provinsi sendiri.
Lagi pula, Ketua Lembaga Adat Provinsi Gorontalo A.D. Khaly, berulang-ulang menegaskan, bahwa mereka sedang tidak “merebut” apa-apa dari siapa, melainkan mereka berdiri atas dasar menghormati amanat Perda sebagai landasan yuridis terbentuknya Lembaga Adat Provinsi Gorontalo.
Dalam perspektif Lembaga Adat Provinsi Gorontalo, sejatinya Penjabat Gubernur sebagai “Olongiya” yang secara terminologi mengandung pengertian “Ta Longolongo Lolo’iya”, dapat memutuskan dan bertitah dengan mengambil keputusan berdasarkan prinsip kepemimpinan “Huidu Huntdu Datahu”,artinya pemimpin yang menjunjung tinggi aspirasi rakyat.
Dalam konteks ini, Perda nomor 2 tahun 2016 tentang Lembaga Adat merupakan produk hukum yang dilahirkan oleh lembaga DPRD yang nota bene merupakan representasi rakyat, maka sudah pasti, keberadaan Lembaga Adat Provinsi Gorontalo,lambat laun akan diterima secara utuh oleh para tokoh adat karena telah dipandang memenuhi prinsip “Huidu Huntdu Datahu” di atas.
Dengan begitu,kalaupun kemungkinan ada tokoh adat yang menolak Lembaga Adat yang dibentuk berdasarkan payung hukum yang jelas, maka eksistensi ketokohan adatnya itu patut dipertanyakan
Lagi pula, sekali lagi AD. Khaly menegaskan, Lembaga Adat Provinsi Gorontalo yang baru terbentuk sekitar 3 bulan lalu, tidak sedang “hemohehu”, (merebut), tapi justru memiliki itikad yang baik untuk menghormati kebijakan dan keputusan yang diambil oleh Penjabat Gubernur Gorontalo sebelumnya Hamka Hendra Noer yang juga menjadi bagian dari tindak lanjut amanat Perda Nomor 2 tahun 2016 tentang Lembaga Adat Provinsi Gorontalo.
Kalaupun Penjabat Gubernur ragu dan tidak ingin dituding memihak pada siapa-siapa, sejatinya sebagai Tauwa Lo Lipu, Penjabat Gubernur Ismail Pakaya, memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan komunikasi, bahkan jika perlu mempertemukan para tokoh adat Gorontalo yang dianggapnya “Wawahuwa” itu melalui instrumen “Dulohupa” sebagai upaya rekonsiliasi. Bukan malah sebaliknya, membiarkan proses “Wawahuwa” itu terus berlangsung, melainkan meredamnya dengan solusi dan kebijakan yang konstruktif.
Artinya, sikap “tidak memihak pada siapa-siapa”, bukanlah solusi, justru menempatkan Lembaga Adat yang lahir dari payung hukum yang jelas, justru akan dalam posisi “ndaya-ndayango” (menggantung atau melayang-layang)
Sementara yang ada dualisme kepengurusan itu, konon adalah Dewan Adat (Duwango Lo Adati) versus Karim Pateda dan Abdullah Paneo, bukan Lembaga Adat yang diketuai A.D. Khaly. Lembaga Adat Provinsi Gorontalo, dalam aspek ini, sama sekali tidak ingin masuk ke dalam “rumah tangga” orang lain yang sedang “tidak aman”.
Lembaga Adat Provinsi Gorontalo saat ini tenang-tenang saja bahkan dapat disebut sangat solid. Buktinya, pada permusyawaratan Lembaga Adat yang membahas agenda Rapat Kerja (Raker) I yang dilaksanakan pada tanggal 03 Agustus lalu, seluruh pemangku adat perwakilan Kabupaten/Kota menghadiri kegiatan ini dan secara mufakat mendukung serta mensuport kehadiran Lembaga Adat Provinsi Gorontalo sebagai lembaga peradatan yang memiliki landasan yuridis di daerah ini.
Oleh karena itu sekali lagi, sikap Penjabat Gubernur yang nampak ambigu ini, justru memunculkan pertanyaan-pertanyaan, bahkan kecurigaan-kecurigaan, yang kian menuai antipati dari para pemangku adat di Gorontalo Gorontalo..
Bahkan lebih dari itu, ada selentingan yang beredar di kalangan para pemangku adat, bahwa Penjabat Gubernur justru seolah-olah tanpa sadar tengah “mendekonstruksi” wibawa kelembagaan adat, karena disatu sisi ia mengabaikan Lembaga Adat Provinsi Gorontalo yang secara “dejure” dibentuk berdasarkan landasan hukum yang jelas, namun di sisi yang lain ia terkesan seolah-olah hendak memelihara “Dewan Adat” yang pendiriannya tidak dikenal dalam sistem hukum di daerah ini . Wallahu A’lam bishawab.(***)
Disclaimer:
Artikel ini adalah Opini penulis. Segala materi yang ditulis adalah tanggung jawab penulis dan tidak mewakili redaksi Komparasi.id
Penulis : Ali Mobiliu
Jurnalis, Pemerhati Budaya Gorontalo
**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel