Penyebaran Hoax dalam Kampanye Politik: Menipu Rakyat dengan Komunikasi yang Tidak Etis

KOMPARASI.ID – Dalam era digital ini, kampanye politik tidak hanya melibatkan pidato dan spanduk di jalanan, tetapi juga merambah ke dunia maya.

Sayangnya, fenomena yang semakin meresahkan adalah penyebaran hoax atau berita palsu yang terjadi selama kampanye politik.

Hal ini bukan hanya menjadi ancaman terhadap integritas proses demokrasi, tetapi juga merugikan masyarakat yang menjadi korban disinformasi. saya akan menelaah bagaimana penyebaran hoax dalam kampanye politik mampu menipu rakyat, dengan merujuk pada teori komunikasi modern.

1. Manipulasi Emosi dengan Isu Sensasional

Dalam teori komunikasi, Joseph Cappella dan Kathleen Hall Jamieson menjelaskan konsep “agenda-setting,” di mana media memiliki kekuatan untuk menentukan perhatian masyarakat terhadap suatu isu.

Penyebaran hoax dalam kampanye politik sering kali dilakukan dengan menciptakan isu-isu sensasional yang dapat memicu emosi.

Melalui penggunaan judul yang provokatif dan narasi dramatis, penyebar hoax menciptakan kebingungan dan ketakutan di antara pemilih, merubah pandangan mereka terhadap kandidat atau partai tertentu.

Baca Juga :  Amnesia Kepahlawanan 

2. Efek Filter Bubble dan Algoritma Media Sosial

Eli Pariser dalam teori “filter bubble” menjelaskan bagaimana algoritma media sosial dapat menciptakan lingkungan informasi yang terisolasi, di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka.

Penyebar hoax dalam kampanye politik memanfaatkan efek ini dengan menyajikan konten yang mendukung keyakinan dan preferensi politik targetnya. Akibatnya, pemilih cenderung terpapar pada informasi yang bias dan tidak diverifikasi, meningkatkan risiko penyebaran hoax.

3. Peran Influencer dan Celebrity Endorsement

Dalam teori komunikasi, konsep “two-step flow” oleh Paul Lazarsfeld menyatakan bahwa pesan politik tidak hanya disampaikan langsung dari sumber kepada masyarakat, tetapi juga melalui perantara, seperti tokoh masyarakat atau influencer.

Penyebar hoax dalam kampanye politik seringkali memanfaatkan popularitas influencer atau selebriti untuk mendapatkan legitimasi.

Baca Juga :  Dialog Pasca Pemilu 2024: Evaluasi dan Persiapan Menuju Pilkada 2024

Masyarakat cenderung lebih percaya pada pesan yang disampaikan oleh tokoh yang mereka kagumi, tanpa melakukan verifikasi fakta.

4. Penggunaan Teknologi Deepfake dan Manipulasi Media

Dalam era komunikasi modern, teknologi deepfake memungkinkan pembuatan konten video atau audio yang sangat meyakinkan dan sulit dibedakan dari aslinya.

Penyebar hoax dalam kampanye politik dapat memanfaatkan teknologi ini untuk menciptakan rekaman palsu yang merusak reputasi kandidat atau partai lawan.

Hal ini tidak hanya menciptakan kebingungan di kalangan pemilih, tetapi juga merongrong kepercayaan publik terhadap politik dan media.

Dalam menghadapi tantangan penyebaran hoax, penting bagi masyarakat untuk menjadi konsumen informasi yang kritis dan sadar.

Pendidikan publik tentang literasi digital dan pemahaman terhadap strategi komunikasi modern dapat membantu melawan penipuan dalam kampanye politik.

Baca Juga :  Rayakan Hari Ibu, 'FPMIK' Kota Gorontalo Ajak Siswa SDN 1 Bulango Selatan Hargai Peran Ibu

Sebagai pemilih, kita perlu mengembangkan kemampuan untuk memilah informasi yang akurat dan bertanggung jawab, menjadikan kampanye politik sebagai ajang demokrasi yang sehat dan bermartabat.

 

Disclaimer:

Artikel ini adalah Opini penulis. Segala materi yang ditulis adalah tanggung jawab penulis dan tidak mewakili redaksi Komparasi.id

 

Penulis : Wardoyo Dingkol (Akademisi Gorontalo) 
l

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *