KOMPARASI.ID – Tampilnya pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Gorontalo, Nelson Pomalingo dan Mohamad Kris Wartabone, bukanlah sebuah kebetulan.
Melihat perjalanan sejarah peradaban Gorontalo, kemunculan pasangan ini menandai pesan mendalam tentang kebangkitan Gorontalo dalam konteks nasionalisme dan kebangsaan Indonesia.
Kebangkitan Gorontalo: Tiga Era Sejarah
Kebangkitan Gorontalo pertama dimulai dengan semangat heroisme dan patriotisme yang dipelopori Pahlawan Nasional H. Nani Wartabone pada 23 Januari 1942.
Ini adalah momen penting yang melahirkan kesadaran kolektif sebagai “Lipu Tiyombu,” bagian dari Trah Suwawa.
Kebangkitan kedua terjadi ketika Gorontalo berjuang untuk menjadi provinsi mandiri, memisahkan diri dari Sulawesi Utara.
Pada tahun 2000, Nelson Pomalingo terpilih sebagai Ketua Presidium Nasional Pembentukan Provinsi Gorontalo, menegaskan kembali akar sejarahnya sebagai Trah Limutu, yang berhubungan erat dengan Linula “Duluwo U Mulo” dan Tuwawa (Suwawa).
Dengan demikian, pasangan Nelson-Kris merepresentasikan perpaduan dua kekuatan besar, Trah Limutu dan Suwawa, yang membentuk “Duluwo U Mulo.”
Ini menunjukkan bahwa keduanya, mungkin dengan campur tangan Tuhan, kembali digerakkan untuk mengukir sejarah dan membawa Gorontalo ke era kebangkitan ketiga.
Tantangan Masa Kini
Era kebangkitan ketiga ini muncul sebagai respons terhadap dua tantangan besar.
Pertama, Gorontalo menghadapi ancaman dari mereka yang ingin mempertahankan “status quo” kekuasaan di Puncak Botu.
Masyarakat sudah memahami siapa mereka tanpa perlu disebutkan.
Kedua, tantangan yang lebih mendesak adalah mengatasi status Gorontalo sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia.
Dua Faktor Kunci Kebangkitan
Kebangkitan Gorontalo ketiga diyakini akan terwujud berkat dua faktor kunci.
Pertama, Nelson Pomalingo, sebagai mantan Ketua Presidium Pembentukan Provinsi, memiliki pemahaman mendalam tentang visi dan misi awal pembentukan provinsi.
Jika terpilih sebagai Gubernur, Nelson berpotensi mengembalikan Gorontalo ke jalur yang benar, sejalan dengan cita-cita yang pernah ia perjuangkan.
Kedua, kebangkitan ini juga didukung oleh sinergi antara dua trah besar: Trah Limutu, diwakili oleh Nelson, dan Trah Suwawa, diwakili oleh Kris Wartabone, cucu dari pelaku sejarah kebangkitan pertama.
Sejarah yang Berulang
Sejarah Gorontalo, sejak abad ke-13, menunjukkan siklus penyatuan antara Suwawa dan Limutu dalam konteks “Duluwo U Mulo,” yang telah membentuk pranata sosial masyarakat Gorontalo.
Secara linguistik, “Duluwo U Mulo” berarti dua entitas yang mula-mula, mencerminkan kedudukan Suwawa dan Limutu sebagai pelopor persatuan.
Peribahasa Gorontalo menegaskan bahwa sakit salah satu organ tubuh akan dirasakan oleh seluruh tubuh, mencerminkan betapa eratnya hubungan antar trah di Gorontalo.
Dengan munculnya Nelson dan Kris, kita menyaksikan “sejarah yang berulang,” di mana kedua sosok ini membawa harapan baru bagi masyarakat.
Dengan mendapatkan nomor urut 2, pasangan Nelson-Kris tidak hanya mewakili Trah Duluwo U Mulo, tetapi juga menciptakan momentum baru bagi kebangkitan Gorontalo.
Kehadiran mereka merupakan sinyal kuat bagi calon lain bahwa ada isyarat semesta yang mengarah pada siapa yang akan memimpin Gorontalo dalam lima tahun ke depan.
Jika dua kekuatan trah “Duluwo U Mulo” bersatu, masa depan Gorontalo dapat lebih cerah dan menjanjikan.
**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel