KOMPARASI.ID – Salahudin Pakaya buka suara terkait dugaan keterlibatannya sebagai anggota partai politik yang juga menjadi anggota KPPS pada pemilu 2024.
Salahudin mengonfirmasi bahwa pada tahun 2019, dirinya memang sempat didaftarkan sebagai calon legislatif oleh parpol di Gorontalo. Namun, terkait keanggotaan tersebut, ia menjelaskan bahwa meskipun didaftarkan sebagai anggota parpol, ia tidak menerima kartu keanggotaan pada saat itu.
“Pada Pileg 2019, saya memang diminta oleh Demokrat, namun saya tidak pernah menerima kartu keanggotaan atau tanda keanggotaan lainnya,” tuturnya kepada Komparasi.id di rumah pribadi. (6/2/2024).
Salahudin menegaskan bahwa meskipun namanya terdaftar sebagai calon anggota parpol pada Pileg 2019, ia tidak aktif dalam kampanye dan hanya terdaftar dalam Daftar Calon Tetap (DCT).
Menurut Salahudin, banyak orang bertanya-tanya mengapa ia bisa terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, mengingat persyaratan yang mengharuskan penyelenggara tidak menjadi anggota partai politik selama minimal lima tahun.
Salahudin menjelaskan bahwa ia memilih untuk menyatakan bukan sebagai anggota partai politik, karena sejak 2019 ia tidak memiliki komunikasi lagi dengan partai politik tersebut.
Salahudin menambahkan bahwa ia tidak terdaftar sebagai pengurus partai politik di Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), serta tidak ada namanya dalam susunan keanggotaan partai politik mana pun.
Terkait prosedur penggantian antarwaktu (PAW) anggota KPPS , Salahudin mempertanyakan mekanisme yang akan digunakan, terutama karena statusnya sudah dilantik dan telah mengambil sumpah sebagai KPPS.
Salahudin, yang juga merupakan mantan Ketua KPU periode 2003-2008, menjelaskan motivasinya untuk menjadi anggota KPPS adalah untuk memahami peran KPPS dalam menjalankan pemilu dengan sukses, serta memastikan hak masyarakat sebagai pemilih terlindungi.
Selain itu, Salahudin juga menyebutkan bahwa ia sedang melanjutkan studi pasca sarjana dengan penelitian tentang sengketa pemilu antara peserta, penyelenggara, dan masyarakat.
Hingga saat ini, masyarakat tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan sengketa terkait pemilu, sehingga hanya penyelenggara dan peserta yang dapat melakukan proses sengketa.
Hal ini membuat masyarakat menjadi objek dalam proses tersebut tanpa memiliki hak untuk mengajukan gugatan atau memiliki kedudukan hukum yang jelas.














