Ketua Bidang Kajian Kebijakan Publik HMI Badko SulutGo, Novan Lahmudin, menyatakan, mayoritas masyarakat Indonesia akan menolak usulan ini, meskipun terus digulirkan oleh elit politik di tingkat pusat.
“Dampak dari penghapusan pilkada langsung sangat besar. Saya yakin mayoritas masyarakat akan menolak ide ini,” ujar Novan tegas.
Menurut Novan, munculnya wacana tersebut menunjukkan kelelahan elit politik dalam menghadapi persaingan yang melibatkan partisipasi langsung rakyat.
Jika mekanisme pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, suara rakyat dikhawatirkan akan terabaikan.
“Ini seperti menghidupkan kembali pola pikir Orde Baru. Jika hal ini diterapkan, demokrasi kita berpotensi mengalami kemunduran,” tegasnya, mengingat pentingnya peran serta rakyat dalam memilih pemimpin daerah mereka.
Sementara itu, Ketua Bidang Politik dan Demokrasi HMI Badko SulutGo, Rasmianti Halim, menyoroti perlunya kajian yang lebih mendalam mengenai efisiensi anggaran dalam pelaksanaan pemilu.
Menurutnya, penghematan anggaran tidak boleh mengorbankan substansi demokrasi.
“Kita tidak boleh menutup ruang hak dan keterlibatan rakyat dalam demokrasi hanya karena alasan efisiensi. Lebih baik sistem pemilu yang diperbaiki agar tetap efektif dan mengedepankan prinsip value for money,” jelas Rasmianti.
Dia juga menambahkan, wacana tersebut menjadi ujian serius bagi perjalanan demokrasi Indonesia.
Di satu sisi, ada dorongan untuk efisiensi anggaran, namun di sisi lain, keterlibatan rakyat dalam menentukan pemimpin daerah bisa berkurang drastis.
“Apakah efisiensi anggaran sepadan dengan risiko melemahnya suara rakyat? Publik tentu menanti bagaimana pemerintah merespons isu ini,” ujar Rasmianti, menutup pernyataan.