Ancaman Stop Jual Minyak Goreng dari para Ritel

KOMPARASI.ID – Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) kembali menagih utang pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng yang sampai dengan saat ini masih belum dibayarkan oleh Kementerian Perdagangan senilai Rp 344 miliar. Utang pemerintah kepada pelaku usaha minyak goreng berawal dari program minyak satu harga yang diluncurkan pemerintah pada awal Januari 2022.

Program itu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam aturan itu, pengusaha harus menjual minyak goreng kemasan premium seharga Rp14 ribu per liter. Padahal saat itu harga minyak tembus Rp17ribu – Rp19 ribu per liter.

Pelaku usaha menutup selisih HET dan harga keekonomian dari Dana Pembiayaan Minyak Goreng Kemasan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun, dana itu tak kunjung diberikan. Pengusaha ritel mengancam mengurangi pembelian hingga menyetop pembelian dari produsen minyak goreng jika utang tak kunjung dibayar.

Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey mengatakan, apabila Kemendag tak kunjung membayarkan utangnya itu, maka Aprindo akan lepas tangan jika 31 perusahaan ritel yang terdiri dari 45.000 gerai toko di seluruh Indonesia menghentikan pembelian minyak goreng dari para produsen.

Adapun 31 perusahaan ritel yang tergabung diantaranya, ungkap Roy, Alfamart, Indomaret, Hypermart, Transmart, hingga Superindo. Selain itu langkah yang juga akan dilakukan para peritel adalah melakukan pemotongan tagihan kepada distributor minyak goreng oleh perusahaan peritel kepada distributor migor. (Dikutip dari cnbcindonesia.com)

Baca Juga :  Refha Koniyo Resmi Pimpin PB HPMIG, Semangat Baru untuk Gorontalo

Mencermati kasus diatas, jelas menunjukkan bahwa adanya salah kelola negara dalam menyediakan minyak goreng sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat. Faktanya saat ini hanya pengusaha yang berkuasa dalam penyediaan kebutuhan pangan rakyat. Sehingga kebutuhan rakyat akan minyak goreng tak terlayani dengan baik. Bahkan harga minyak goreng bergantung pada korporasi. Kebijakan ini menunjukkan bahwa negara tidak berdaya di hadapan korporasi.

Tentunya hal ini sangat berdampak bagi masyarakat. Terutama bagi pedagang kecil seperti penjual gorengan yang menjadikan profesi ini sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Karena harga minyak goreng yang mahal membuat mereka harus mengeluarkan modal yang lebih besar dari keuntungan yang diperoleh. Di samping itu masih banyak kebutuhan lain juga yang harus dipenuhi.

Padahal dalam hal produksi minyak sawit,
Indonesia berhasil menduduki peringkat pertama sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Secara geografis, perkebunan sawit Indonesia tersebar di Pulau Kalimantan, Riau, Jambi, dan Aceh dengan produksi minyak mencapai 45,5 juta MT.

Namun fakta yang terjadi minyak sawit justru banyak diekspor dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sehingga minyak kelapa sawit menjadi pemasukan negara terbesar nomor 2 selain pajak. Hal ini terjadi karena adanya sistem kapitalisme yang diterapkan negara dan hanya berasaskan pada keuntungan semata. Oleh karena itu, negara hanya bertindak sebagai pelayan korporasi dan bukan sebagai pelayan rakyatnya.

Baca Juga :  Waspadai Praktik Politik Uang Jelang Pemilu 2024

Solusi untuk harga minyak goreng yang terjangkau dengan jaminan ketersediaan di pasaran hanya akan terwujud dalam penerapan sistem Islam. Sebab dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah) mewajibkan negara untuk membuat kebijakan yang memudahkan kehidupan rakyatnya, sebagaimana negara adalah rain (pengurus) yang melayani rakyat dengan sepenuh hati. Kebijakan negara Islam didasarkan atas pelayanan publik, bukan berorientasi pada untung rugi ataupun bergantung kepada pihak lain seperti halnya dalam sistem kapitalis.

Sistem Islam berlandaskan pada aturan syariat yang mewajibkan negara menjadi pengelola, bukan pihak lain seperti pengusaha atau korporasi. Negara harus menjalankan syariat Islam secara kaffah termasuk dalam pengurusan pangan mulai dari hulu sampai ke hilir, yakni dari sektor produksi hingga sektor konsumsi. Dengan begitu setiap individu rakyat mampu dan bisa mengakses bahan kebutuhan pokok dengan mudah dan harga yang terjangkau.

Negara Islam menetapkan beberapa kebijakan utama terkait pemenuhan dari kebutuhan rakyat akan minyak goreng.
Negara mengatur kembali masalah kepemilikan harta yang sesuai dengan islam. Sehingga khilafah akan melarang individu atau swasta menguasai harta milik umum seperti hutan. Dimana dalam sistem kapitalisme hutan dijadikan sebagai perkebunan pribadi pemilik korporasi. Apalagi hutan – hutan yang dibuka dengan cara merusak dan berdampak pada masyarakat secara umum.

Baca Juga :  FMIPA UNG Siap Bertanding dalam Kompetisi Debat Mahasiswa Tingkat Kampus

Negara menjamin ketersediaan pasokan barang di dalam negeri, terutama diupayakan dari produksi dalam negeri dengan mengoptimalkan para petani dan para pengusaha lokal. Selama kebutuhan dalam negeri belum tercukupi, maka negara tidak akan melakukan ekspor ke negara luar. Bahkan bila kebutuhan dalam negeri masih kurang, negara melakukan impor dari luar.

Di dalam sistem Islam, negara akan melakukan pengawasan terhadap rantai tata niaga, sehingga tercipta harga kebutuhan atau harga barang-barang secara wajar. Dan dengan pengawasan itu pula pasar akan terjaga dari tindakan – tindakan curang seperti penimbunan, penipuan, dan sebagainya. Dengan demikian pasar yang sehat akan menghindarkan penguasaan oleh para ritel. Maka hanya dengan penerapan sistem Islam kebutuhan rakyat akan terpenuhi.

Disclaimer:

Artikel ini adalah Opini penulis. Segala materi yang ditulis adalah tanggung jawab penulis dan tidak mewakili redaksi Komparasi.id

 

Penulis : Fitri Sangaji, Mahasiswa Domisili Manado Sulawesi Utara. 
l

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *