KOMPARASI.ID – Film “Lafran” resmi dirilis di seluruh bioskop Indonesia pada 20 Juni 2024.
Film ini mengisahkan perjalanan hidup Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dari masa kecilnya hingga pendirian HMI di Yogyakarta.
Lafran Pane, lahir di Padang Sidempuan pada 5 Februari 1922, dikenal sebagai penggagas HMI pada 5 Februari 1947.
Saat menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Islam (kini Universitas Islam Indonesia/UII) di Yogyakarta, ia melihat perubahan sikap mahasiswa Islam yang mulai condong ke arah sekuler.
Hal ini mendorongnya untuk mendirikan HMI sebagai wadah perjuangan bagi mahasiswa Islam.
Film ini menggambarkan perjalanan hidup Lafran di berbagai kota, seperti Tapanuli, Jakarta, dan Yogyakarta. Diproduksi oleh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan Reborn Initiatives, film ini melalui riset panjang untuk mendekati kisah nyata Lafran Pane.
Dilansir dari Tirto.id Skenario film ini ditulis oleh Jujur Prananto dan Oka Aurora, dengan Faozan Rizal sebagai sutradara. Film berdurasi 1 jam 29 menit ini dapat dinikmati oleh penonton di seluruh Indonesia.
Dimas Anggara memerankan tokoh Lafran Pane, didukung oleh Lala Karmela, Aryo Wahab, Alfie Alfandi, Ratna Riantiarno, Farandika, Nabil Lungguna, dan Mathias Muchus.
Sinopsis Film “Lafran”
Film Lafran menggambarkan kehidupan Lafran Pane dari masa kecil hingga menjadi aktivis.
Ia menjalani masa kecil yang keras, namun menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Pendidikan yang berpindah-pindah membuatnya tumbuh menjadi sosok pemberontak, bahkan sempat menjadi petarung jalanan.
Berbeda dengan kedua kakaknya, Sanusi Pane dan Armijn Pane, yang lebih disiplin dalam pendidikan dan dikenal sebagai pujangga, Lafran didorong untuk menyalurkan emosinya dalam bentuk karya.
Perubahan perlahan terjadi pada dirinya, namun sifat pemberontaknya tak sepenuhnya hilang.
Ia bahkan sempat dipenjara oleh tentara Jepang karena membela para peternak sapi, dan dibebaskan oleh ayahnya dengan menebus menggunakan bus Sibual-buali.
Lafran kemudian melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta, di mana ia menemukan bahwa mahasiswa Muslim terdidik mulai mengikuti gaya pemikiran sekuler dan mengabaikan peribadatan.
Ini mendorongnya untuk mendirikan HMI, sebuah organisasi yang mewadahi mahasiswa Muslim agar tetap berjuang dalam bingkai keislaman dan keindonesiaan, tanpa terlibat dalam politik.
Dalam perjuangannya di HMI, Lafran didukung oleh kekasihnya, Dewi. Hingga akhirnya, kepemimpinan HMI harus diserahkan kepada generasi penerus.
Organisasi ini kemudian dipimpin oleh mahasiswa dari luar Sekolah Tinggi Islam (STI), dengan Syafaat Muntadja dari UGM yang diminta untuk meneruskan perjuangan.