Linula Limutu dan 2 Perjanjian Perdamaian yang Sakral

Avatar

KOMPARASI.ID – Linula Limutu yang kemudian berubah menjadi Pohala’a Limutu merupakan struktur kepemimpinan dan pemerintahan tertua kedua di Gorontalo setelah Linula Tuwawa (Suwawa). Itulah sebabanya, kedua Linula atau Pohala’a ini disebut pula sebagaI “Duluwo U Mulo” atau dua yang terdahulu.

Ali Mobiliu Pemerhati Sejarah Gorontalo menjelaskan, Linula Tuwawa menjadi U Mulo karena dari linula inilah lahir para pemimpin-pemimpin dari generasi ke generasi yang berabad-abad lamanya, terus berkembang hingga saat ini  menjadi penduduk atau suku Gorontalo.

Bahkan masyarakat Kabupaten Bolaaang Mongondow di Sulawesi Utara dan masyarakat di Kabupaten Buol Sulawesi Tengah sebagian besar menjadi bagian dari rumpun keturunan Pohala’a Suwawa.

Bahkan Katanya,  bahasa Bonda sebagai bahasa asli Bune Suwawa telah melahirkan 5 rumpun bahasa, yakni Bahasa Gorontalo, Bahasa Bulango, Atingola, Bahasa Buol dan Bahasa Mongondow. Itulah sebabnya, Pohala’a Suwawa disebut sebagai “Tiyombu” atau nenek moyang masyarakat Gorontalo dan sekitarnya.

Sementara Pohala’a Limutu yang diperkirakan berdiri sejak awal abad 13 atau tahun 1300 yang dalam perkembangannya merupakan Pohala’a yang sangat berpengaruh dengan cakupan wilayah kekuasaan terluas dibandingkan dengan pohala’a lainnya di Gorontalo.

Pohala’a Limutu pada awalnya  menguasai wilayah di Kabupaten Gorontalo sekarang, wilayah Gorontalo Utara sekarang kecuali Atinggola, wilayah Boalemo sekarang dan wilayah Pohuwato bahkan menguasai wilayah-wilayah kecil yang ada di pesisir Teluk Tomini.

Di Pohala’a Limutu juga terjadi 2 peristiwa penting yang dianggap sakral, yaitu Perjanjian “Tuwawu Duluwo Limo Lo Pohala’a tahun 1481 yang diprakrasai oleh Olongia Gintulangi yang kala itu memimpin Linula Bune-Suwawa yang berpusat di Taludaa’a di kawasan Bone Pantai sekarang.

Pemerhati Sejarah itu menambahkan, Perjanjian ini terjadi untuk mendamaikan Pohala Hulonthalangi dan Pohala’a Limutu yang terlibat konflik pasca terbunuhnya Olongia Polamolo yang semasa hidupnya dijuluki sebagai “Olongia Lo Balanga” yang memimpin 2 Pohala’a sekaligus, yakni Pohala’a Hulonthalangi dan Pohala’a Limutu. Dari perjanjian inilah akhirnya tercetus istilah “Pohala’a yang menggantikan istilah Linula.

Istilah ini dicetuskan sebagai sebuah stratategi untuk menghentikan pertikaian antar Pohala’a di Gorontalo yang sering terlibat konflik perebutan wilayah dan perebutan kekuasaan yang  sebenarnya merupakan “satu keturunan” atau satu rumpun yang berasal dari sumber yang sama “bo ngobungo loma’o” yang berasal dari nenek moyang yang sama dari Pohala’a Suwawa.

Itulah sebabnya disebut “pohala’a”, yakni sebuah istilah untuk “mengikat tali persaudaraan” sebagai satu keturunan yang harus menjalin perdamaian satu dengan yang lainnya. Selanjutya, Perjanjian kedua terjadi tahun 1673 yang diprakarsai oleh Hohuhu Popa dari Pohala’a Limutu dan Olongia Eyato dari Hulonthalangi.

Perjanjian ini juga untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi antara Pohala’a Hulontalangi dan Limutu yang sering berkobar atas campur tangan kerajaan lain dari luar Gorontalo, yakni Kerajaan Gowa yang bersekutu dengan Hulonthalangi dan Pohala’a Limutu yang bersekutu dengan Kerajaan Ternate.

Perjanjian ini dikenal dengan nama Perjanjian “Duluwo Limo Lo Pohala’a” yang dilaksanakan di tepi Danau Limboto yang disaksikan oleh para pembesar dari Pohalaa Hulontalangi dan Limutu. Tanggal terjadinya peristiwa ini pada tahun 1993 di masa kepemimpinan Bupati Gorontalo Imam Nooriman diabadikan sebagai Hari Ulang Tahun Kabupaten Gorontalo yang diperingati setiap tanggal 26 November.


**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *