KOMPARASI.ID, Sejarah- Pohuwato merupakan kata atau istilah yang tidak hanya menyimpan sejarah, tapi juga mengandung sejuta makna yang secara sepintas memberikan sajian gambaran terhadap pranata sosial masyarakat pada zaman dulu.
Semua itu bisa saja menjadi spirit bagi generasi muda untuk menata, menatap dan membangun kemajuan serta peradaban daerah ini ke depan.
Pohuwato berasal dari istilah Bahasa Gorontalo “Pohuwata”, “Pohuwatalo” yang berarti menunjukkan suatu tempat, namun memiliki 2 arti yang berbeda.
Pertama, “Pohuwata” atau “Pohuwatalo”, berarti suatu tempat yang cukup jauh yang dilintasi, dilalui atau ditempuh dengan berjalan kaki.
Orang yang melakoni pekerjaan menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki di kalangan masyarakat Gorontalo dikenal dengan istilah “Lohuwato” yang bersinonim dengan “To Limbuta” (Lona’o To Limbuta” atau Lona’o Lo Limbuta.
Kedua, “Pohuwata” yang berarti menggambarkan tempat, dimana suatu benda tertabrak yang berasal dari kata “Pilohuwata liyo””. Atau ada sesuatu yang tertabrak (Lehuwato). Lama-kelamaan, tempat ini dikenal menjadi “Pohuwata”.
Konon tempat yang dimaksud sebagai “Pohuwata” adalah “Bumbulan” di wilayah Paguat sekarang.
Sebelum Belanda resmi menjajah Gorontalo (1607 M), orang Gorontalo mengenal kawasan ini sebagai “Huta bumbu”, yakni sebuah kawasan yang berada di pantai yang agak tinggi atau memiliki sebuah bukit yang agak membumbung di tepi pantai sehingga disebut “Huta Bumbu” Namun Pada zaman Belanda, istilah ini ditulis menjadi “Bumbu Land” sehingga lama-kelamaan menjadi Bumbulan.
Demikian juga dengan istilah “Pohuwata” pada zaman Belanda ditulis dalam Ejaan Van Ophuijsen (EVO) menjadi “Poguata-Paguata” sehingga lama kelamaan menjadi Paguat.
EVO adalah ejaan lama yang digunakan oleh Orang Belanda dalam menuliskan kata-kata dari Rumpun Bahasa Melayu menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, atau ejaan yang menghasilkan bunyi yang mirip tuturan Belanda.
Dalam ejaan ini, huruf hidup yang diberi aksen trema atau dwititik diatasnya menandakan, bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata bukan diftong, sama seperti ejaan Belanda sampai saat ini.
Selain “Pohuwata” menjadi “Paguata”, terdapat juga satu kawasan yang awalnya dikenal sebagai “Pohuwayama” namun oleh Belanda ditulis menjadi “Paguyama” sehingga lama-kelamaan menjadi “Paguyaman”.
Istilah “Pohuwata” konon berawal dan bermula dari perjalanan Mbu’i Owutango, seorang putri Raja Palasa di Moutong Sulawesi tengah sekarang yang bernama Ogomonjolo (Kumonjolo) yang terjadi antara tahun 1495-1500-an Masehi atau abad XV.
Mbu’i Owutango ketika itu diperisteri oleh Olongia Lo Hulonthalangi (Raja Amay atau Sultan Amay).
Setelah prosesi pernikahan yang berlangsung secara Islami di Kerajaan Palasa, Raja Amay memboyong sang permaisurinya ke Kerajaan Hulonthalangi yang berpusat di Mesjid Hunto Kel. Biawu Kota Selatan sekarang.
Ketika itu, Mbu’i Owutango dikawal oleh 8 Raja taklukkan kerajaan Palasa yang dikenal dengan “Olongia Walu Ta Londto Otolopa” yakni, Tamalate, Tiyeningo, Hulangata, Lembo’o, Bunuyo, Sipayo, Soginti dan Siduan.
Menurut penuturan H. DK Usman, mantan Baate Lo Hulondtalo, (2015), Dalam Buku berjudul Pohuwato Mencatat di tulis oleh Ali Mobiliu, konon pernikahan antara Raja Amay dan Putri Owutango tidak berlangsung lama.
Mereka berpisah setelah memiliki seorang putra mahkota, bernama Matolodula kiki yang di kemudian hari menjadi Raja Hulonthalangi.
Karena berpisah, akhirnya, Mbu’i Owutango dan para pengawalnya pulang ke Kerajaan Palasa di Moutong.
Ketika hendak pulang, Mbui Owutango dan 4 raja pengawalnya, masing-masing Tamalate, Lembo’a, Tiyeningo dan Hulangata memilih menempuh perjalanan lewat darat (Lo huwato).
Sementara 4 raja lainnya, Bunuyo, Soginti, Sipayo dan Siduan diperintahkan oleh Putri Owutango pulang dengan menggunakan armada laut (Lolibaya To deheto). Yang besar hingga terdampar di suatu wilayah yang memiliki daratan yang agak tinggi yang konon berada di wilayah Bumbulan sekarang.
Selanjutnya, karena menabrak tebing dan cuaca buruk, akhirnya ke empat Raja ini memilih untuk beristrahat.
Pada saat yang bersamaan, Mbui Owutango dan rombongannya yang menempuh perjalanan lewat darat, juga tiba di tempat yang sama.
Mendapati kenyataan bahwa 4 Raja tersebut terdampar di Pantai Bumbulan, secara diam-diam Mbui Owutango justru memerintahkan pasukannya untuk melubangi perahu yang digunakan oleh 4 Raja tersebut agar tidak bisa digunakan lagi.
Setelah itu, Mbui Owutango beserta pengawalnya melanjutkan perjalanan ke Moutong di Kerajaan Palasa meninggalkan 4 Raja tersebut di Bumbulan.
Hal itu merupakan taktik dari Mbui Owutango agar 4 Raja ini dapat menyebarkan dan mendakwahkan Islam di wilayah Bumbulan dan sekitarnya.
Sementara itu, karena sudah tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan ke Kerajaan Palasa, akhirnya 4 Raja ini bermusyawarah dan menyebar serta membagi wilayah yang hingga saat ini, nama-nama Raja tersebut diabadikan sebagai nama desa yakni Bunuyo, Soginti, Siduan dan Sipayo yang masuk wilayah Kecamatan Paguat Kabupaten Pohuwato sekarang.
Dari perjalanan Mbui Owutango dan 8 raja pengawalnya inilah, asal mula nama Pohuwato berawal dan diabadikan oleh penduduk Gorontalo zaman dulu.
Yakni berasal dari kata “Pohuwata” yang artinya: Tempat tertabraknya kapal yang ditumpangi oleh 4 raja” dan “Pohuwata”-“Pohuwatalo” yang berarti tempat dimana Mbu’i Owutango dan 4 Raja lainnya melewati/menempuh perjalanan kaki dari Hulonthalangi menuju Kerajaan Palasa di Moutong.
Dari kisah asal mula nama Pohuwato sebagaimana yang telah diuraikan, maka dapat disebut, bahwa eksistensi daerah ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun lamanya.
Pohuwato telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan Gorontalo secara keseluruhan dan dari masa ke masa.
Mulai dari era kerajaan (Olongia) hingga zaman penjajahan Belanda dan Jepang, pasca Proklamasi Kemerdekaan, era Orde lama. Orde baru hingga era reformasi saat ini.
Meski sangat minim sumber rujukan berupa, catatan atau manu-skrip yang bisa ditelusuri terkait eksistensi daerah ini di zaman dari fakta yang ada, masih terdapat jejak peninggalan masa lalu yang bisa saja menjadi rujukan untuk menggambarkan Pohuwato dari masa ke masa.
Meski hal itu kemungkinan akan memunculkan perspektif yang berbeda. Memang tidak dapat dipungkiri, tinjauan sejarah, apalagi yang terkait sejarah perjalanan suatu daerah memang cenderung akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, karena semua itu tergantung dari sudut pandang, persepektif dan rujukan yang digunakan.
Perbedaan itu tentu bukan hal yang tabu, justru sebaliknya akan memperkaya khasanah pengetahuan yang kelak akan berkontribusi terhadap upaya meniti jalan kemajuan yang dicita-citakan bersama.
Sebagaimana daerah lainnya di Gorontalo, daerah ini telah menarik perhatian bangsa penjajah Belanda.
Keyakinan ini dapat ditelusuri dari beberapa aspek antara lain dapat dilihat dari jejak peninggalan Belanda di Paguat, khususnya di Bumbulan, Marisa dan Popayato yang termasuk Kota tua dan hingga saat ini masih menyisakan beberapa bangunan yang bergaya arsitektur khas Belanda.
Selain itu dari segi penulisan “Pohuwata” yang ditulis dengan ejaan Van Ovyussen menjadi “Paguata” yang selanjutnya menjadi Paguat, juga menjadi bagian penting yang menunjukkan, bahwa Pohuwato termasuk daerah yang eksistensinya sudah berusia ratusan tahun.
Di era penjajahan Belanda, Gorontalo mengalami beberapa fase perubahan pemerintahan, diantaranya, pada tahun 1824 berada di bawah kekusaan seorang asisten Residen disamping Pemerintahan tradisonal.
Pada tahun 1889 sistem pemerintahan kerajaan, dialihkan ke pemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah “Rechtatreeks Bestur”.
Masih pada zaman Belanda, tepatnya mulai tahun 1911, Pemerintahan Belanda di Gorontalo dibagi menjadi 3 Onder Afdeling yaitu: Onder Afdeling Kwandang, Onder Afdeling Boalemo dan Onder Afdeling Gorontalo.
Pohuwato menjadi bagian dari Onder Afdeling Boalemo. Pada tahun 1920, Gorontalo berubah lagi menjadi 5 distrik, yaitu, Distrik Kwandang, Distrik Limboto, Distrik Bone, Distrik Gorontalo, Distrik Boalemo.
Tidak berhenti sampai disitu saja, pada tahun 1922, Gorontalo kembali ditetapkan menjadi 3 Afdeling, yaitu, Afdeling Gorontalo, Afdeling Boalemo dan Afdelin Buol. Sistem ini berlangsung hingga tahun 1942 dan berlanjut di era Pemerintahan Jepang.
Pada tahun 1942, setelah peristiwa heroisme 23 Januari yang dipimpin H. Nani Wartabone, Gorontalo berada di bawah Pemerintahan Dewan Nasional yang dikepalai oleh Nani Wartabone hingga tahun 1945.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1946, wilayah Sulawesi menjadi sebuah Provinsi dengan ibukota Ujung Pandang (Makassar) yang terdiri dari daerah-daerah Swapraja.
Kemelut politik di era orde lama menjadikan daerah-daerah di Indonesia tidak mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup pesat.
Namun tahun 1959, seiring keluarnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959, maka terbentuklah Kabupaten Daerah Tingkat (Dati II) Gorontalo yang beribukotakan Isimu, namun tahun 1978, ibukota dipindahkan ke Limboto.
Kabupaten Dati II Gorontalo pada masa ini menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi yang berpusat di Ujung Pandang (Makassar) dengan Bupati pertama H. Ahmad Ali Wahab.
Adapun wilayah barat Kab. Gorontalo yang kini menjadi Kab.Boalemo dan Kab. Pohuwato merupakan bagian dari Kewedanan Boalemo (setingkat kecamatan).
Tahun 1960, terbentuklah Provinsi Sulawesi Utara-Tengah beribu kotakan Manado dengan Gubernur pertama AA Baramuli, SH. Pada masa ini, Kabupaten Dati II Gorontalo melahirkan satu daerah yang berstatus “Kotapraja”, yakni Kota Praja Gorontalo dengan Walikota pertama H Taki Niode.
Akhirnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13, tertanggal 23 September 1964 seriring perubahan Provinsi Sulawesi Utara-Tengah menjadi Provinsi Sulawesi Utara, maka Kabupaten Dati II Gorontalo, otomatis berada di bawah Provinsi Sulawesi Utara dengan Gubernur pertama HV Worang.
Tahun 1974, keluarlah Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1974 yang diikuti keluarnya Permendagri No. 132 tahun 1978 tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pembantu Bupati/Walikota madya, eks Kewedanan Boalemo berubah menjadi Pembantu Bupati Wilayah Kerja Paguat yang meliputi 5 Kecamatan, yakni Paguyaman, Tilamuta, Paguat, Marisa dan Popayato.
Dengan demikian, Kabupaten Dati II Gorontalo di era tahun 1960 hingga era tahun 1999 terdiri dari 16 Kecamatan antara lain:
1.Kecamatan Telaga
2.Kecamatan Limboto
3.Kecamatan Tibawa
4.Kecamatan Paguyaman
5.Kecamatan Tilamuta
6.Kecamatan Paguat
7.Kecamatan Marisa
8.Kecamatan Popayato
9.Kecamataan Batudaa
10.Kecamaatan Kwandang
11.Kecamatan Atinggola
12.Kecamatan Sumalata
13.Kecamatan Bone Pantai
14.Kecamatan Tapa
15.Kecamatan Kabila
16.Kecamatan Suwawa
Sepeninggal AA Wahab (1959-1965), Bupati Kabupaten Dati II Gorontalo berturut-turut dipimpin oleh Mayor R. Djarwadi (1965-1966), Drs. Ahmad Nadjamuddin (Penjabat) (1970-1971), Drs. Hasan Abas Nusi (Penjabat Sementara tahun 1971-1972), Kolonel (Purn) Kasmat Lahay, BA (1972-1981), Kolonel (Purn) Martin Liputo, SH (1981-1989), Kolonel (Purn) Imam Nooriman masa jabatan 1989-1999), H. Ahmad Hoesa Pakaya (1999-2004).
Saat era reformasi bergulir tahun 1999, di era kepemimpinan Bupati H. Ahmad Hoesa Pakaya, Kabupaten Dati II Gorontalo yang telah berubah menjadi Kabupaten Gorontalo berdasarkan Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999 di era Pemerintahan Presiden BJ. Habibie, mengalami pemekaran dengan terbentuknya Kabupaten Boalemo ibukota Tilamuta, berdasarkan Undang-Undang Nomor 50 tertanggal 4 Oktober 1999.
Wilayah Kab. Boalemo ketika itu, memanjang dari Kecamatan Paguyaman hingga Molosipat Kec. Popayato. Adapun Bupati pertama Boalemo dipercayakan kepada sosok aktivis, politisi dan birokrat Ir. H. Iwan Bokings.
Sementaraitu, sejak tahun 1998, semenjak pergantian kepemimpinan Nasional dari Soeharto ke Presiden BJ Habibie di Istana Negara pada 21 Juni 1998, wacana tentang pembentukan Provinsi Gorontalo terus menggema di mana-mana.
Hal ini sebagai bagian dari euforia reformasi yang memungkinkan segala bentuk aspirasi dan harapan masyarakat berpeluang besar untuk diakomodir.
Selain itu, tuntutan pembentukan Provinsi Gorontalo berpisah dari Sulawesi Utara merupakan momentum yang tepat untuk mengekspresikan keinginan rakyat Gorontalo yang sudah lama mengkristal akibat kekecewaaan rakyat Gorontalo yang seakan dianaktirikan oleh Manado selama ini.
Keinginan dan aspirasi rakyat ini, ditangkap sinyalnya oleh para akademisi, aktifis, Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo (HPMIG) di seluruh Indonesia, organisasi Gorontalo perantauan dan berbagai organisasi lainnya, sehingga menjadi sebuah gerakan dan aspirasi yang tak bisa dibendung lagi.
Untuk menyatukan langkah perjuangan agar berlangsung secara tersistematis, terstruktur dan terkoordinasi, maka lahirlah Pressidium Nasional (Presnas) Pembentukan Provinsi Gorontalo-Tomini Raya yang diketuai oleh Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd. Puncaknya pada 23 Januari 2000, bertempat di Gelora 23 Januari Telaga, ribuan rakyat Gorontalo tumpah ruah menghadiri deklarasi Pembentukan Provinsi Gorontalo.
Akhirnya, Pada tanggal 5 Desember 2000, Provinsi Gorontalo resmi terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tertanggal 5 Desember yang ditandatangani Presiden KH. Abdurahman Wahid pada tanggal 22 Desember 2000.
Tepat 16 Februari 2001, Menteri Dalam Negeri Suryadi Sudirdja melantik dan mengambil sumpah Drs. H. Tursandi Alwi sebagai Penjabat Gubernur Gorontalo dan selanjutnya digantikan oleh Fadel Muhammad yang memimpin dari Desember 2001 hingga Oktober 2009.
Fadel Muhammad berhenti sebagai Gubernur seiring pengangkatannya sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terplih pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009.
Ia digantikan oleh Wakil Gubernur Dr. Ir. Gusnar Ismail hingga berakhir sisa masa jabatannya pada Januari 2012.
Terbentuknya Provinsi Gorontalo, menjadi momentum awal yang bersejarah dan sangat menentukan bagi perjalanan daerah ini.
Salah satunya, lahirnya daerah-daerah otonom baru di Gorontalo sebagai bagian dari upaya penataan wilayah administrasi Provinsi Gorontalo, dan sebagai upaya untuk mengakomodir aspirasi masyarakat yang ingin mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam memperoleh pelayanan pemerintahan.
Tidak heran, semenjak Provinsi Gorontalo terbentuk, telah lahir 3 daerah otonom baru, yakni Kabupaten Pohuwato dan Kabupaten Bone Bolango pada tahun 2003, disusul Kab. Gorontalo Utara pada tahun 2007.
Bahkan sejak tahun 2010, terdapat 3 daerah otonom baru yang telah diusulkan ke Pemerintah pusat, yakni Kab. Gorontalo Barat, Kab. Boliyohuto dan Kab. Panipi Raya yang konon hingga tahun 2019, berkas pembentukan 3 daerah otonom baru ini, masih sebatas masuk pada agenda pembahasan yang diharapkan akan direalisasikan oleh wakil rakyat di DPR-RI hasil Pemilu 17 April 2019.
Sejak terbentuknya Provinsi Gorontalo tahun 2001, aspirasi masyarakat wilayah Paguat, Marisa, Lemito dan Popayato untuk memisahkan diri dari Kab. Boalemo menjadi daerah otonom baru seakan tak terbendung.
Para aktivis yang didukung oleh seluruh elemen masyarakat, terus menyuarakan terbentuknya Kab. Pohuwato. Sejarah perjalanan pembentukan Kab. Pohuwato ini telah banyak diulas dalam Buku Sejarah Pembentukan Pohuwato yang ditulis Yowan Tamu, dkk yang diterbitkan oleh Bappeda Kab. Pohuwato (2013).
Mengacu pada fenomena yang menggejala ketika itu, terbentuknya Kab. Pohuwato dipicu dan didorong oleh beberapa faktor, yakni: Pertama, terkait dengan “Momentum”, yakni terbentuknya Provinsi Gorontalo merupakan “Momentum yang tepat” sehingga muncul keyakinan bahwa tuntutan dan aspirasi pembentukan Kab. Pohuwato bakal terwujud.
Salah satu yang menjadi dasar keyakinan tersebut adalah, sebagai sebuah Provinsi baru, Gorontalo saat itu baru memiliki 3 Daerah otonom, yakni Kabupaten Gorontalo, Kota Gorontalo dan Boalemo. Itu artinya peluang lahirnya Daerah Otonom baru masih sangat terbuka lebar.
Kedua, Dari aspek geografis, wilayah Paguat hingga Molosipat dan Popayato memiliki rentang jarak yang sangat panjang dan luas sehingga akses untuk memperoleh layanan pemerintahan masih terbilang sulit ketika harus menuju ibukota Boalemo di Tilamuta.
Ketiga, dari aspek Potensi Sumber Daya, baik sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM), kawasan Paguat, Marisa, Randangan dan Popayato cukup melimpah bahkan lebih potensial jika dibandingkan dengan Kabupaten induk Boalemo.
Keempat, di beberapa titik, di kawasan Paquat, Marisa, Randangan dan Lemito merupakan titik atau kawasan bertumbuh yang sejak dulu menjadi sumber dan urat nadi perekonomian hingga di kenal di luar Gorontalo.
Realitas dan fakta-fakta tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan sehingga Kab. Pohuwato lahir dan menjadi daerah Otonom Baru.
Yowan Tamu, dkk, dalam Buku Sejarah Pembentukan Pohuwato (2013) menyebutkan, aspirasi masyarakat dari wilayah barat Kab. Gorontalo sudah berlangsung sejak pemerintahan orde baru. Disebutkan, pada era tahun 1980-an, pemekaran wilayah barat Gorontalo pernah disuarakan oleh beberapa tokoh yang ketika itu menjadi Anggota DPRD Kab. Dati II Gorontalo, seperti Uns Mbuinga, dkk.
Namun aspirasi itu mengalami beberapa hambatan karena sistem pemerintahan orde baru yang sentralistik. Ide pembentukan Kabupaten baru kembali bergulir di akhir tahun 1997.
Beberapa tokoh antara lain, Uns Mbuinga, Nurdin Abubakar, Zakaria Utiarahman, Hamdan Sanad, Tasrif Haras, Yusuf Adam, ketika itu mulai menggagas pengumpulan data penduduk di wilayah Paguat hingga Popayato untuk persiapan pembentukan Kabupaten baru.
Melalui perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya keluarlah Undang-Undang Nomor 50 tahun 1999 tertanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Rl tahun 1999 Nomor 178), Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3899) yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2000 tentang Pembentukan Kabupaten Boalemo.
Dalam Undang-undang ini (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 50 tahun 1999) wilayah Kab. Boalemo terdiri dari Kecamatan Paguyaman, Tilamuta, Paguat, Marisa dan Popayato.
Namun, semenjak terbentuknya Kabupaten Boalemo, terjadi polemik yang melibatkan antara masyarakat Tilmuta dan Marisa, terutama yang terkait penentuan ibukota. Hal ini dipicu oleh bunyi pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 50 tahun 1999.
Pada pasal 7 disebutkan bahwa ibukota Kab. Boalemo berkedudukan di Tilamuta. Sementara pada pasal 8 disebutkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun terhitung sejak diresmikannya Kab. Boalemo kedudukan kota dipindahkan ke Marisa.
Hal inilah yang memicu perbedaan pendapat sehingga dibentuklah Komite Independen pelaksanaan Undang-Undang Nomor 50 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2000. Komite ini dibentuk pada April 2002.
Hari Jum’at, 24 Mei 2004, digelar pertemuan di Rumah Dinas Bupati Boalemo yang dihadiri perwakilan masyarakat Tilamuta maupun masyarakat Marisa.
Hadir pada pertemuan itu juga, Tim DPRD RI, Gubernur Gorontalo, Bupati Boalemo dan beberapa anggota DPRD Provinsi Gorontalo serta Anggota DPRD Boalemo. Dalam pertemuan ini akhirnya keluarlah beberapa butir kesepakatan yang berisi :
Kabupaten Boalemo disepakati dimekarkan menjadi Kab. Boalemo dengan ibukota Tilamuta dan Kab. Pohuwato dengan Ibukota Marisa.
Kabupaten Boalemo meliputi Kec. Mananggu, Tilamuta, Dulupi, Wonosari dan Kec. Paguyaman. Kabupaten Pohuwato meliputi Kec. Popayato, Kec. Lemito, Kec. Randangan, Kec. Marisa, Kec. Paguat
Sebelum keluar Undang-Undang baru, maka Undang-Undang Nomor 50 tahun 1999 masih diberlakukan dengan ibukota Kabupaten Boalemo masih berada di Tilamuta
Kabupaten Boalemo sesuai Undang-Undang Nomor 50 tahun 1999 disepakati berubah menjadi Kab. Pohuwato dengan ibukota Marisa.
Dalam pertemuan ini juga terdapat beberapa nama calon Kabupaten yang diusulkan, seperti Kab. Omayuwa, Gorontalo Barat, Patilanggiyo dan Pohuwato. Namun yang disepakati adalah Pohuwato dengan pertimbangan historis yang melatarinya.
Dengan suara yang bulat, akhirnya nama Pohuwato menjadi nama Kabupaten baru yang ditandatangani bersama oleh perwakilan masyarakat Marisa antara lain : Uns Mbuinga, Nasir Giasi, Abd. Karim Mbuinga, Hamka Nento, Since Kadji. Sementara pihak Tilamuta diwakili Lahmudin Hambali, Herman Bater, Rustam Saidi, Sunaryo Abas dan Fendy Mopangga.
Berawal dari kesepakatan inilah akhirnya seluruh polemik yang berlangsung selama 3 tahun lamanya, yakni 1999-2002, dapat disudahi melalui semangat kebersamaan untuk merajut masa depan daerah tercinta.
Kesepakatan ini juga menjadi referensi dan rujukan penting seluruh elemen untuk mengambil langkah-langkah proaktif guna memenuhi seluruh ketentuan dan persyaratan dalam rangka mewujudkan daerah otonom baru sebagaimana yang tertuang dalam kesepakatan bersama.
Hasil kesepakatan ini juga menjadi referensi bagi DPOD untuk membahas lebih lanjut kesepakatan dan aspirasi masyarakat di tingkat pengambil keputusuan di Jakarta.
Hanya dalam rentang waktu yang cukup singkat, Daerah Otonom baru Kabupaten Pohuwato lahir sebagai kabupaten ke-4 di Provinsi Gorontalo, berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2003 tertanggal 25 Februari 2003 yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarno Putri.
Daerah ini terlahir dari induknya Kabupaten Boalemo yang ketika itu masih berusia 3,5 tahun, (***)
**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel