Kisah Amina Lamadilawo, Menenun Asa di Setiap Helai Karawo

Avatar

KOMPARASI.ID Di sudut lobi Hotel Grand Q Gorontalo, seorang perempuan paruh baya tampak sibuk menunduk, tangannya lincah mengolah kain putih.

Ia duduk di balik stand kecil yang dihiasi berbagai karya kain bermotif indah.

Beberapa patung manekin memajang busana karawo hasil karyanya, memikat perhatian para pengunjung.

Dialah Amina Lamadilawo (56), seorang pengrajin karawo yang telah menekuni seni sulam khas Gorontalo ini sejak usia belia.

Mengenakan kerudung hitam dan masker kuning, Amina dengan penuh ketelitian mengiris serat kain, menyulamnya menjadi motif-motif memukau yang ia tiru dari lembaran gambar sederhana.

“Ada yang bilang membuat karawo itu mudah, tapi sebenarnya tidak. Mengiris kain adalah bagian paling sulit. Salah langkah sedikit saja, kain bisa rusak,” ujarnya sambil terus bekerja.

Keterangan Foto : Amina tengah asik menyulam Karawo (Risman/komparasi.id)
Keterangan Foto : Amina tengah asik menyulam Karawo (Risman/komparasi.id)

Bermula dari Ketekunan di Masa Muda

Amina mengenal karawo sejak duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Berbeda dengan kebanyakan pengrajin lain, keterampilan ini tidak diwarisinya dari keluarga.

Orang tuanya, yang tidak tahu-menahu tentang karawo, mendukungnya belajar sendiri dari tetangga.

“Sepulang sekolah, saya sering mengamati para ibu-ibu menyulam di rumah mereka. Lama-lama, saya coba sendiri hingga akhirnya bisa,” kenangnya.

Ketekunannya tidak hanya membuahkan keterampilan, tetapi juga menjadi sumber penghidupan utama.

Selepas menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan, Amina semakin serius mendalami karawo.

Ia percaya bahwa sulaman tradisional ini adalah jalan hidupnya.

“Karawo ini sudah seperti darah daging saya. Tidak pernah ada rasa bosan, karena sejak kecil saya mencintainya,” katanya.

Menghidupi Keluarga Lewat Karawo

Amina tidak hanya mempertahankan tradisi karawo, tetapi juga berhasil menjadikannya tumpuan ekonomi keluarga.

Berkat sulaman tangannya, ia mampu menyekolahkan enam anak hingga ke perguruan tinggi.

“Alhamdulillah, tiga anak saya sudah menikah, dua masih SMA, dan satu lagi sedang kuliah. Semua ini berkat ketekunan di bidang karawo,” ungkapnya dengan bangga.

Ia menjelaskan bahwa modal untuk membuat karawo sebenarnya tidak besar, tetapi membutuhkan tenaga, pikiran, dan ketelatenan. Hasilnya, pendapatan dari tahun ke tahun terus meningkat.

Namun, dari enam anaknya, hanya dua yang menunjukkan minat meneruskan tradisi karawo.

“Mereka sering membantu, tapi tidak semuanya ingin melanjutkan. Mungkin nanti, setelah mereka melihat nilai seni dan ekonomi karawo,” katanya sambil tersenyum.

Keterangan Foto : Karawo Karya Amina Lamadilawo. (Risman/komparasi.id)
Keterangan Foto : Karawo Karya Amina Lamadilawo. (Risman/komparasi.id)

Mencetak Prestasi dan Menginspirasi Banyak Orang

Perjalanan Amina dalam dunia karawo juga diwarnai prestasi.

Ia pernah beberapa kali memenangkan lomba motif karawo hingga berkesempatan tampil di Jakarta.

Pengakuan ini membuatnya semakin percaya diri.

“Pernah ada yang iri karena saya sering menang. Tapi semua itu rezeki, hasil dari ketekunan dan kerja keras,” tuturnya.

Kini, Amina tidak lagi bekerja sendiri. Ia memberdayakan pengrajin lain untuk bersama-sama mengembangkan karawo.

Semangatnya untuk melestarikan budaya ini tidak hanya mengangkat perekonomian keluarga, tetapi juga menginspirasi komunitasnya.

“Bagi saya, karawo adalah bagian dari cinta saya kepada tradisi. Selama tangan ini masih mampu menyulam, saya akan terus melakukannya,” pungkasnya penuh tekad.

Kisah Amina Lamadilawo adalah bukti bahwa ketekunan dalam melestarikan budaya bisa membuka peluang ekonomi sekaligus menjaga warisan leluhur.

Di setiap helai karawo yang dihasilkannya, tersimpan kisah perjuangan seorang ibu untuk keluarga dan kecintaannya pada seni tradisional Gorontalo.


**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *