KOMPARASI.ID, Gorontalo – Setiap Ramadan tiba, lapak-lapak takjil di berbagai sudut Gorontalo mulai dipenuhi dengan aneka kudapan manis.
Namun, ada dua kue yang selalu menarik perhatian, Kue Lopes dan Apang Colo.
Dua jajanan tradisional ini hanya muncul setahun sekali, seakan menjadi takjil eksklusif yang selalu dinantikan.
Di hari-hari biasa, mencari Kue Lopes dan Apang Colo di Gorontalo hampir mustahil.
Berbeda dengan kue-kue lain yang tetap tersedia di luar Ramadan, dua kudapan ini seolah memiliki “jadwal tayang” sendiri, hanya di bulan puasa.
“Yang hanya ada di bulan puasa itu terutama Kue Lopes, yang kedua Kue Apang Colo. Banyak orang mencarinya karena sudah jadi tradisi buat buka puasa,” kata Isna (56), pedagang kue tradisional di sekitar Menara Keagungan Limboto, Senin (03/03/2025).
Apa yang membuat kedua kue ini begitu langka di luar Ramadan?
Kue Lopes dan Apang Colo bukanlah jajanan yang bisa dibuat secara instan.
Kue Lopes, misalnya, membutuhkan ketan yang direndam semalaman sebelum dikukus, kemudian dibalut dengan parutan kelapa dan disiram dengan gula aren cair.
Sedangkan Apang Colo harus dibuat dari adonan tepung beras dan santan yang dikukus, lalu disajikan dengan gula merah cair.
“Pembuatan Kue Lopes lumayan ribet, harus pakai ketan yang benar-benar pulen supaya kenyalnya pas. Kalau gula arennya kurang kental juga rasanya jadi beda,” ujar Isna, yang hanya membuat kue ini saat Ramadan karena permintaan yang tinggi.
Di sisi lain, perubahan gaya hidup juga memengaruhi keberadaan kue ini.
Dahulu, banyak keluarga di Gorontalo yang masih membuat Kue Lopes dan Apang Colo sendiri untuk berbuka. Namun, seiring waktu, tradisi itu mulai luntur.
“Dulu ibu saya sering buat Kue Apang Colo untuk berbuka bersama keluarga. Sekarang karena ibu sudah tua, biar tidak repot, kami tinggal beli saja,” kata Tio (28), seorang mahasiswa asal Gorontalo yang kini merantau di Manado.
Dengan semakin sedikitnya orang yang bisa membuatnya, produksi kue ini pun semakin terbatas.
Ramadan menjadi satu-satunya waktu di mana permintaan melonjak dan para pedagang merasa layak untuk menjualnya.
Makanan, Identitas, dan Ramadan
Ketiadaan Kue Lopes dan Apang Colo di luar Ramadan ternyata justru menjadi daya tarik tersendiri.
Rina (32), misalnya, selalu mencari Kue Lopes setiap tahun saat bulan puasa tiba.
“Rasanya enak, manisnya pas, dan setahu saya cuma ada di bulan puasa. Jadi kalau tidak beli sekarang, harus nunggu tahun depan lagi,” ujarnya.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Gorontalo. Banyak makanan tradisional di berbagai daerah di Indonesia yang juga memiliki “musim” tersendiri, khususnya saat Ramadan.
Kue-kue seperti Kicak di Yogyakarta, Bongko Kopyor di Gresik, atau Barongko di Makassar juga sulit ditemukan di luar bulan puasa.
Menurut Ali Mobiliu, pemerhati budaya Gorontalo, keberadaan makanan khas Ramadan ini lebih dari sekadar kuliner, ini adalah bagian dari identitas budaya.
“Di bulan puasa, makanan tradisional seperti ini bukan hanya sekadar takjil, tetapi juga sarana nostalgia dan pelestarian budaya. Orang-orang mencarinya karena makanan ini punya makna historis dalam kehidupan mereka,” kata Ali yang juga penulis sejarah Gorontalo.
Namun, ia juga menekankan bahwa jika produksi kue ini terus berkurang, bukan tidak mungkin suatu hari nanti Kue Lopes dan Apang Colo hanya akan menjadi cerita masa lalu.
“Generasi muda harus diberi edukasi dan dorongan untuk tetap membuat dan mengonsumsi makanan tradisional. Kalau hanya menunggu Ramadan, lama-lama kue-kue ini bisa hilang,” ujarnya.
Apakah Kue Lopes dan Apang Colo Bisa Bertahan?
Dengan langkanya orang yang bisa membuatnya dan perubahan selera masyarakat, keberadaan Kue Lopes dan Apang Colo dalam jangka panjang mungkin terancam.
Namun, Ramadan setiap tahun masih menjadi pengingat bahwa kuliner tradisional tetap memiliki tempat di hati masyarakat.
Bagi warga Gorontalo, menikmati Kue Lopes dan Apang Colo bukan hanya soal mengisi perut saat berbuka.
Ini adalah bagian dari tradisi, nostalgia, dan penghubung dengan masa lalu setidaknya, selama sebulan dalam setahun.