KOMPARASI.ID – Diskursus tentang manusia dan lingkungan hidup menjadi suatu hal yang penting untuk dielaborasi, bukan hanya dalam ilmu alam tapi juga dalam ilmu sosial, mengingat masalah sosial memiliki keterkaitan dengan masalah lingkungan hidup secara ekologis.
Ditinjau secara historis antropologis, interaksi manusia dengan alam telah menciptakan kebudayaan. Dengan kecerdasannya, manusia memanfaatkan alam lingkungannya untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Pada zaman nenek moyang, alam dimanfaatkan hanya sekadar untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Seiring berjalannya waktu, pengetahuan manusia semakin maju dan mulai menciptakan teknologi-teknologi untuk membantu atau mempermudah pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Ilmu pengetahuan modern secara evolutif ternyata ikut mengubah karakter manusia.
Manusia yang awalnya memanfaatkan alam demi keberlangsungan hidupnya, kini telah bergeser karena terhegemoni oleh kepentingan-kepentingan kapitalis yang notabenenya menjadi produk dari pekembangan ilmu pengetahuan modern.
Akibatnya, mewabahlah antroposentrisme dimana alam dijadikan objek dan manusia menjadi subjek yang akan mengeksploitasi alam seenaknya saja.
Perjalanan panjang hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya yang terus berkembang dan melahirkan berbagai perspektif tentang etika terhadap lingkungan, melahirkan varian baru yang menggabungkan alam dengan perspektif gender yang kemudian disebut ekofeminisme.
Perempuan selalu terkait erat dengan lingkungan dan pengelolaan lingkungan. Perempuan bergaul akrab dengan produk-produk yang berdampak pada limbah dan pencemaran lingkungan.
Misalnya limbah rumah tangga, dampak pemakaian kosmetik dan limbahnya, pemakaian obat kimiawi baik makanan maupun kesehatan, pemakaian produk fashion, termasuk suplemen untuk body language pembentukan tubuh yang langsing, obat-abatan diet dan lain-lain. Dengan demikian perempuan mempunyai peran sentral dan strategis dalam pengelolaan lingkungan.
Di akhir abad ke-21, timbul berbagai gerakan kesadaran masyarakat yang menaruh perhatian terhadap keadaan lingkungan. Ini berkaitan dengan kesadaran untuk menjaga bumi tempat tinggal manusia menjadi bersih, sehat, dan hijau.
berbagai organisasi lingkungan hidup bermunculan serta barang-barang konsumtif recycled bermunculan menjadi kecenderungan gaya hidup orang-orang kota. Bahkan dalam kegiatan liburan sekalipun ada sebutan ekoturisme yang mengacu pada wisata alam.
Sejak kecenderungan peduli lingkung- an ini merebak bukan saja di kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) akan tetapi juga di kalangan pemerintah baik daerah maupun pusat, bahkan di kalangan akademisi di perguruan tinggi, tidak banyak yang menyadari bahwa isu lingkungan ber- kaitan erat dengan isu perempuan.
Padahal menurut mitos-motos yang ada di masyarakat, perempuan sering diasosiasikan dengan alam. Sebut saja misalnya perempuan diandaikan dengan bumi, bunga ayam, malam, bulan, dan padi.
Kadang mitos-mitos tersebut bukanlah mitos-mitos yang mempunyai makna positif tapi justru negatif. Bahasa metafora untuk perempuan ini terkadang menimbulkan penafsiran yang melemahkan perempuan. Perempuan identik dengan alam yang dikuasai manusia.
Dari analogi itu alam adalah benda barang lahan yang dikuasai dan dieksplorasi manusia, bahkan dieksploitasi. Dengan demikian implikasi dari analogi perempuan dengan alam maka perempuan juga “menjadi yang dikuasai” oleh manusia lain (manusia masyarakat laki-laki). Nah saya kira paradigma ini yang harus kemudian pelan-pelan kita rubah.
Menurut laporan United Nation and De- velopment (UNDP) tahun 1998, sebanyak 2,7 juta orang tiap tahun meninggal akibat pencemaran lingkungan lewat polusi udara karena emisi-emisi industri, gas buang kendaraan bermotor dan bahan bakar fosil yang dibakar di rumah-rumah.
Di sisi lain perempuan selalu terkait erat dengan lingkungan dan pengelolaan ling-kungan. Perempuan selalu bergaul akarab dengan produk-produk yang berdampak pada limbah dan pencemaran lingkungan.
Misalnya limbah rumah tangga, dampak pemakain kosmetik dan limbahnya, pemakaian obat kimiawi baik makanan maupun kesehatan, pemakaian produk fashion, termasuk suplemen untuk body language.
Hemat berpikir saya dengan demikian perempuan mempunya peran sentral dalam pengelolaan lingkungan.
EKOFEMINISME
Ekologi mempelajari hubungan antara manu- sia dan lingkungan hidup; mengkaitkan antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan secara interdispliner.
Kalau kemudian kita maknai Kesadaran ekologi hendak melihat kenyataan dunia ini secara integral holistik, bahwa dunia yang satu itu ternyata mengandung banyak keanekaragaman.
Bahkan menurut saya Ekologi sekaligus merupakan reaksi kritis atas pandangan umum terhadap dunia yang dualistis-dikotomis. itu berarti mengakui dan menghargai hak hidup setiap makhluk sebagai subyek yang mandiri dan bermartabat dalam dunia yang konkret integral.
Dalam pandangan saya Gerakan feminisme dan ekologis mempunyai tujuan yang saling memperkuat, keduanya hendak membangun pandangan terhadap dunia prakteknya yang tidak berdasarkan model-model yang patriarkhis dan dominasi-dominasi.
Kalau kemudian kita mengacu pada prinsip Ekologi “semakin tinggi tingkat keanekaragaman pada satu Ekosistem, maka semakin baik stabilisasi ekosistem tersebut” maka kita seharusnya memaknai kembali kalimat perempuan dan laki-laki seharusnya kita menganggap itu sebagai suatu keragaman yang harus terkolaborasi atau berkolaborasi bukan kemudian di jadikan sebagai suatu ajang persaingan seperti yang sekarang banyak kita dengar “laki-laki lebih hebat dari perempuan atau malah sebaliknya” saya kira kita harus keluar dari paradigma sempit itu.
Ada kaitan yang sangat penting antara dominasi terhadap perempuan dan dominasi terhadap alam. Kehancuran ekologi saat ini akibat pandangan dan praktek yang andosentris.
Bila kita berbicara tentang ekofem- inisme maka kita berbicara tentang adanya ketidakadilan di dalam masyarakat terhadap perempuan.
Ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini berangkat pertama-tama dari pengertian adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap non-manusia atau alam.
Karena per-empuan selalu dihubungkan dengan alam maka secara konseptual, simbolik dan ling- uistik ada keterkaitan antara isu feminis dan ekologis.
cara ber- pikir hirarkhis, dualistik, dan menindas adalah cara berpikir maskulin yang telah mengancam keselamatan perempuan dan alam. Kenyataannya memang perempuan selalu di “alam-kan” atau di “feminin-kan”.
Di “alam-kan” bila diasosiasikan dengan binatang misalnya, ayam, kucing, ular. Sementara itu perempuan di “feminin-kan” berkaitan dengan aktivitas seperti diperkosa, dipenetrasi, digarap, dikesploitasi, dan lainnya yang sejenis. Perhatikan bahwa kata-kata tersebut adalah kata-kata yang dipakai dalam menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan alam.
Misalnya tanah yang digarap, bumi yang dikuasai, dan hutan yang diperkosa, tambang yang dieksploitasi. Jadi tidak mengada-ada jika perempuan dan alam mempunyai kesamaan semacam simbolik karena sama-sama ditindas oleh manusia yang berciri maskulin.
Hal yang lebih penting dan perlu digarisbawahi di sini adalah menyadari adanya hubungan kekuasaan yang tidak adil, adanya model relasi dominasi di dalam wacana lingkungan hidup yang sama persis dengan wacana perempuan.
Langkah selanjutnya, adalah juga, untuk tidak menginterpretasikan karakteristik perempuan dengan alam yang melemahkan perempuan, misalnya dengan menarik kesimpulan bahwa “dengan demikian perempuan karena secara karakteristik sama dengan alam, maka, ia bersifat sebagai perawat, penjaga dan pelestari alam” Itu artinya tugas tersebut didefinisikan bukan karena keasadaran tapi karena konstruksi sosial.
Pemikiran ini yang menurut saya ingin mengembalikan perempuan kepada ranah domestik dengan stereotip yang membelenggu dan merugikan inilah yang amat berbahaya karena bermain diantara “menyanjung” dan “menindas” perempuan.
PERAN PEREMPUAN DALAM PENYELAMATAN LINGKUNGAN
Secara Ecological Knowladge,memperbaiki bumi terletak pada penghormatan terhadap hukum alam yang dipahami oleh masyarakat asli tradisional. masalah lingkungan tidak hanya berpusat pada lingkungan hayati fisik tetapi juga lingkungan sosial budaya.
berbicara budaya berarti berbicara pola pikir, nilai, kebiasaan, adat masyarakat setempat.
Kajian terhadap pengelolaan lingkungan hidup berperspektif gender merupakan upaya untuk mengetahui pentingnya keterlibatan atau peran
perempuan dalam pengelolaan lingkungan berdasarkan sifat-sifat yang melekat pada dirinya, baik secara seks maupun secara gender.
Perspektif ekofeminisme sangat membutuhkan kosmologi baru yang memandang bahwa hidup di alam (termasuk di dalamnya manusia) dipertahankan dengan jalan saling kerjasama dan saling memberi perhatian serta saling mencintai.
Hanya dengan cara tersebut memungkinkan manusia mampu merespon dan menerima keragaman dalam segala entitas.
Perempuan harus berkomitmen untuk ikut berperan aktif dalam pengawasan timbulnya kerusakan lingkungan.
Bentuk komitmen perempuan dalam menyelamatkan dan melestarikan lingkungan hidup, dengan semaksimal mungkin mencegah timbulnya pencemaran dan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan.
Perempuan memiliki hubungan yang kuat sekali dengan lingkungan alam sekitarnya. Terlebih lagi aktivitasnya yang tidak terlepas dari mencari sumber daya.
Perempuan sebagai bagian dari masyarakat seharusnya dapat berperan serta dalam pengawasan pada potensi timbulnya degradasi lingkungan yang akan menyebabkan gangguan kesehatan.
Upaya menjadikan perempuan sebagai subyek pembangunan berarti melibatkan perempuan dalam proses pembangunan suatu negara. Pelibatan perempuan ini tidak hanya pada jajaran legislatif atau parlemen saja, tetapi juga pelibatan perempuan sebagai masyarakat sipil yang juga akan merasakan dampak dari pembangunan.
Upaya ini dapat dilakukan melalui integrasi antarperspektif gender dalam berbagai proses pembangunan. Selain karena aspek dampak yang ditimbulkan, keberadaan perempuan sebagai pihak yang lebih merasakan dampak suatu perubahan lingkungan adalah pada tataran pembangunan fisik dan ekonomi di suatu negara.
Pembangunan ini akan berimplikasi pada pembangunan beberkelanjutan yang sangat mempertimbangkan eksistensi lingkungan di dalamnya.
Disclaimer:
Artikel ini adalah Opini penulis. Segala materi yang ditulis adalah tanggung jawab penulis dan tidak mewakili redaksi Komparasi.id
Penulis : Rizal Sembaga, Ketua Umum HMI Cabang Persiapan Bonebolango