KOMPARASI.ID – Pengamat sejarah dan Budaya Gorontalo, Ali Mobiliu, menepis anggapan adanya larangan bagi perempuan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau menjadi pemimpin di Gorontalo.
Menurutnya, isu ini kerap muncul setiap kali pemilihan kepala daerah di Gorontalo mendekat, padahal Gorontalo memiliki sejarah panjang terkait kepemimpinan perempuan.
Gorontalo sendiri memiliki sejarah panjang tentang kepemimpinan perempuan yang seharusnya dijadikan acuan.
Dalam sejarah, tiga dari lima kerajaan dalam Limo lo Pohalaa, yakni Kerajaan Gorontalo (Hulonthalangi), Kerajaan Limboto (Limutu), dan Kerajaan Suwawa, pernah dipimpin oleh perempuan.
Sebelum masa penjajahan, wilayah Gorontalo terdiri dari kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo dan tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut “Pohala’a”.
Ali Mobiliu menjelaskan bahwa pemimpin perempuan pertama di Gorontalo adalah Mbui Ayudugya, Ratu Suwawa, yang memimpin pada abad ke-5.
Mbui Ayudugya dikenal sebagai pemimpin yang perkasa, berhasil menyatukan rakyat Suwawa, dan memimpin dari Ketinggian Bangio, yang kini dikenal sebagai Pinogu.
Di Kerajaan Limboto, kepemimpinan perempuan diteruskan oleh Mbui Maimunah yang dikenal karena melahirkan banyak pemimpin perempuan, seperti Mbui Bungale, Mbui Tolangohula, hingga Mbui Pohele’o, yang memimpin hingga abad ke-16.
Sementara itu, di Kerajaan Gorontalo (Hulonthalangi), Mbui Bulaida’a memimpin dari tahun 1365 hingga 1395 sebelum digantikan oleh putranya, Matolodula Da’a.
Namun, tradisi kepemimpinan perempuan di Gorontalo mengalami penurunan setelah masuknya VOC Belanda pada awal abad ke-17.
“Kepemimpinan perempuan di Gorontalo tidak seharusnya menimbulkan kontroversi,” tegas Ali Mobiliu, menutup pernyataannya.













