KOMPARASI.ID – Bagi masyarakat Gorontalo, terutama generasi milenial dan Gen Z, istilah “Puwayo” mungkin terdengar asing.
Istilah ini merujuk pada pembengkakan di kelopak mata, menyerupai bisul kecil atau jerawat besar yang terasa perih, terutama saat disentuh.
Ali Mobiliu pemerhati sejarah dan budaya Gorontalo mengatakan, “Puwayo” umumnya muncul di bagian atas atau bawah kelopak mata, baik di sebelah kiri maupun kanan.
Dalam medis, kondisi ini dikenal sebagai blefaritis, yaitu peradangan pada kelopak mata yang ditandai dengan pembengkakan dan kemerahan.
Lanjut Ali, Meskipun bersifat kronis dan umum terjadi, blefaritis tidak menular. Namun, di ranah budaya Gorontalo, pembengkakan ini disebut “Puwayo” (kata benda) dengan sifat “momuwayo,” yang berarti memaki atau mengumpat.
Bagi masyarakat Gorontalo zaman dulu, kehadiran “Puwayo” di kelopak mata seseorang dianggap sebagai tanda bahwa orang tersebut kerap memaki atau mengumpat.
“Puwayo bukan sekadar pembengkakan, melainkan cerminan dari perilaku negatif seseorang.”tuturnya.
Ketika seorang anggota keluarga mengalami Puwayo, orang tua biasanya memberikan sindiran berupa “motombuango,” seperti ungkapan, “malo sambe hemomuwayo to tawu” yang berarti “sudah terlalu banyak memaki atau mengumpat orang.”
Ali Mobiliu juga mengatakan, Sindiran ini bukan hanya teguran, tetapi juga sebagai bentuk nasihat agar yang bersangkutan memperbaiki sikap dan perangainya.
Puwayo dalam pandangan masyarakat Gorontalo dipandang sebagai akibat dari kebiasaan “momuwayo,” atau memaki orang lain.
Orang tua dahulu sering mengingatkan, “U Londto Olemu mohuwalinga Ode Olemu,” yang berarti, “Apa yang berasal darimu, akan kembali padamu.”
Terutama bila umpatan ditujukan kepada orang yang lebih tua, dan orang tersebut memilih untuk bersabar.
Dirinya menjelaskan, Kesabaran ini dipercayai akan memantul kembali kepada si pengumpat, muncul dalam bentuk “panas” yang akhirnya menyebabkan peradangan di mata.
Mengapa peradangan ini terjadi di mata? Konon, ini adalah akibat dari tidak digunakannya “mata hati” dengan baik, sehingga seseorang sembarangan memaki orang lain yang lebih tua.
Bagi masyarakat Gorontalo, “Puwayo” adalah bukti dari energi negatif yang menumpuk akibat perilaku yang tidak terpuji.
Pengobatan tradisional untuk “Puwayo” juga ada. Para orang tua di Gorontalo sering menyarankan penggunaan daun “cakar bebek” atau “cocor bebek” yang memiliki sifat dingin, untuk mengurangi panas dan mempercepat penyembuhan.
Pesan dari tradisi ini jelas, memaki dan mengumpat orang lain hanya akan berbalik pada diri sendiri.
Puwayo adalah lambang dari akibat energi buruk yang dikeluarkan dan kembali pada pelakunya.
“Bagi mereka yang pernah atau belum mengalami Puwayo, bijaklah dalam bertutur kata dan menjaga hati.”tandasnya.
**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel