KOMPARASI.ID – Elon Musk kembali menciptakan preseden baru. Setelah menjadikan luar angkasa sebagai ambisi pribadi lewat perusahaan roket SpaceX, kini ia melangkah lebih jauh, menjadikan markas SpaceX sebagai kota mandiri bernama Starbase.
Langkah ini resmi disahkan melalui pemungutan suara Sabtu (3/5), dengan hasil yang didominasi oleh para karyawan SpaceX yang tinggal di kawasan tersebut, tepatnya di ujung selatan Texas, dekat perbatasan Meksiko.
Dari 283 pemilih yang memenuhi syarat, 212 mendukung pembentukan kota ini, sementara hanya 6 yang menolak.
Dengan luas sekitar 3,9 kilometer persegi, Starbase secara administratif setara dengan kota kecil. Namun secara politis dan sosial, status barunya menimbulkan pertanyaan: siapa yang akan benar-benar mengatur kota ini?
Musk menyambut hasil pemungutan suara dengan antusias. Lewat akun X, ia menulis bahwa Starbase kini adalah “kota sungguhan”.
Namun, di balik semangat itu, ada kekhawatiran yang muncul dari publik dan pengamat tata kelola.
Kota atau Korporasi Bertopeng?
Starbase bukan kota biasa. Ia lahir dari dominasi korporasi, bukan partisipasi warga sipil dalam pengertian umum.
Manajer Umum Starbase, Kathryn Lueders, dalam surat tahun lalu menyebut bahwa SpaceX membutuhkan wewenang penuh untuk mengembangkan komunitas tersebut termasuk jalan, utilitas, sekolah, hingga layanan medis.
Dalam praktiknya, Starbase adalah kota yang dikendalikan satu entitas: SpaceX.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah Starbase adalah bentuk baru dari kota perusahaan (company town), di mana korporasi bertindak sebagai pemerintah?
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Beberapa warga setempat menyuarakan kecemasan atas terbatasnya akses publik ke wilayah pantai yang sebelumnya bebas digunakan masyarakat.
“Suatu hari ditutup, dan beberapa hari lagi Anda ditolak,” kata Josette Hinojosa, warga yang tinggal di sekitar wilayah tersebut.
Politik Pantai dan Roket
Salah satu konsekuensi dari status baru Starbase adalah potensi perluasan kontrol atas wilayah publik. Saat ini, sejumlah rancangan undang-undang sedang digodok oleh legislatif Texas.
Salah satu usulannya adalah memindahkan kewenangan penutupan akses pantai dari pemerintah daerah ke tangan walikota dan dewan kota Starbase.
Ini berarti, keputusan untuk menutup ruang publik bisa saja bergantung pada kebijakan internal SpaceX, sebuah hal yang sebelumnya berada di ranah publik.
Di sisi lain, SpaceX juga tengah mengajukan izin kepada otoritas federal untuk meningkatkan frekuensi peluncuran roket dari lima kali menjadi 25 kali per tahun.
Jika disetujui, ini akan memperkuat posisi Starbase sebagai episentrum eksplorasi luar angkasa. Namun apakah peningkatan ini akan dibarengi dengan perlindungan atas hak-hak warga sipil?
Ambisi Pribadi dalam Bingkai Kota
Pembentukan Starbase datang di tengah turunnya kinerja Tesla dan menurunnya popularitas Musk di ruang publik.
Di tengah tekanan tersebut, Starbase bisa dibaca sebagai kemenangan personal Musk, bukan sekadar ekspansi bisnis, tetapi bentuk pengaruh politik dalam ruang yang selama ini dikuasai pemerintah.
Status kota memberikan legitimasi. Namun ketika legitimasi itu bertumpu pada kekuasaan tunggal dan kontrol penuh atas infrastruktur serta kebijakan, maka kita sedang berbicara bukan soal kota, melainkan proyek dominasi.
Apakah Starbase akan menjadi model tata kelola futuristik atau justru simbol dari privatisasi ruang sipil? Waktu yang akan menjawabnya.
**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel