Tora, Penjual Kue Putu Keliling yang Menjaga Tradisi di Tengah Modernitas

KOMPARASI.ID Di sore yang khas dengan aroma gula merah dan pandan, terdengar suara peluit uap dari sebuah sepeda butut yang melintas di jalan-jalan Gorontalo.

Itulah Tora, pria asal Jawa Tengah yang telah menjadi ikon penjual kue putu keliling sejak tahun 2010.

Dengan semangat yang tak pernah padam, Tora memulai harinya pukul 14.00 WITA dari rumah, membawa kue putu tradisional, dan kembali menjajakan sisa harapan ke rumahnya pada pukul 23.00 WITA.

Sebagai ayah dari empat anak sekaligus seorang kakek, Tora menjalani hidupnya dengan penuh kebanggaan. Kue putu baginya bukan sekadar dagangan.

“Putu itu punya arti mendalam. Bagi orang Jawa, putu adalah akronim dari perusahaan umum tenaga uap. Jadi, selain kue tradisional, saya merasa seperti bagian dari ‘perusahaan keliling’ ini,” ungkapnya sambil tersenyum.

Tora dan beberapa teman seperantaunnya datang ke Gorontalo dengan tujuan mengais rezeki.

Baca Juga :  Kejati Gorontalo Tetapkan Mantan Direktur PDAM Bonebolango sebagai Tersangka

“Kadang saya pulang ke Jawa setahun sekali, kadang dua kali. Tapi itu tergantung situasi dan kebutuhan,” katanya.

Keterangan Foto : Tora Penjual Kue Putu. (komparasi.id)
Keterangan Foto : Tora Penjual Kue Putu. (komparasi.id)

Meski jauh dari kampung halaman, Tora merasa Gorontalo sudah seperti rumah kedua.

Salah satu keunikan Tora adalah memilih sepeda tua sebagai alat transportasinya.

“Naik sepeda itu sehat, mas. Sambil jualan, saya juga olahraga. Pernah coba naik motor, tapi badan rasanya malah meriang karena kurang gerak. Akhirnya saya balik lagi pakai sepeda,” cerita Tora.

Dari hasil berjualan kue putu, Tora bisa meraup omzet hingga Rp500 ribu per hari, dengan modal sekitar Rp200 ribu untuk bahan dan Rp50 ribu untuk gas elpiji yang bisa digunakan selama dua hari.

Namun, di tengah perkembangan zaman, peminat kue putu mulai berkurang.

Baca Juga :  Aksi Gorontalo Peduli Palestina, Seorang Peserta Donasikan Smartphone Pribadinya 

“Jualan keliling itu beda dengan di lapak. Kalau keliling, kita menjemput bola, sambil olahraga juga. Saya punya rute tetap, misalnya ke perumahan Alya Residen pukul 16.00 WITA, lalu ke depan kantor Kejaksaan Tinggi sampai dagangan habis,” jelasnya.

Keterangan Foto : Proses pembuatan Kue Putu. (Komparasi.id)
Keterangan Foto : Proses pembuatan Kue Putu. (Komparasi.id)

Meski tantangan semakin berat, Tora tetap berkomitmen menjaga tradisi ini. “Banyak teman yang buka lapak, tapi kebanyakan cuma bertahan satu-dua tahun. Saya yakin keliling itu lebih fleksibel dan tetap ada pelanggannya,” tambahnya.

Tora bercerita bahwa ia memiliki empat anak. Salah satu anaknya sudah bekerja dan memiliki anak, menjadikan Tora seorang kakek. Namun, ia tetap mendorong anak-anaknya untuk melanjutkan pendidikan.

“Saya ingin mereka kuliah, tapi mereka lebih memilih membantu saya. Lama-lama kerja, ketemu jodoh, ya akhirnya punya anak. Yang lain masih sekolah,” ujarnya.

Di sela-sela ceritanya, Tora tertawa kecil saat mengenalkan dirinya. “Nama saya Tora Sudiro, mas. Tapi jangan salah, saya bukan artis, cuma penyamar jadi penjual kue putu,” candanya sambil mempersiapkan sepeda untuk kembali berkeliling.

Baca Juga :  Atasi 'Overcrowded' Lapas Gorontalo Pindahkan 15 Napi ke Boalemo dan Pohuwato

Di tengah modernitas yang menggoda, Tora tetap mempertahankan nilai tradisional dari kue putu. Bagi Tora, kue ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga perjalanan, semangat, dan warisan budaya yang terus ia kayuh setiap hari.

l

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *