KOMPARASI.ID – Pagi belum benar-benar ramai ketika suara mesin bentor tua milik Djunaidi Uno berderak pelan di gang sempit kawasan Kota Tengah, Gorontalo.
Jarum jam menunjukkan pukul 07.00. Ini waktu yang biasa ia manfaatkan untuk mencari penumpang. Kini, waktu itu hanya jadi penanda rutinitas yang tak lagi menjanjikan.
“Biasanya anak-anak sekolah yang dulu ramai naik, sekarang sudah tidak kelihatan lagi, Mereka sudah beralih ke online” ujarnya, sambil menepuk-nepuk jok belakang bentornya yang kosong.
Juna, begitu ia akrab disapa, telah 20 tahun mengandalkan bentor sebagai mata pencaharian.
Dari kendaraan roda tiga itu, ia membesarkan dua anak dan menyekolahkan mereka hingga SMP dan SD.
Namun sekarang, setiap liter bensin yang terbakar tak sebanding dengan uang yang didapat. Pendapatannya menurun drastis, hanya Rp50.000 hingga Rp75.000 per hari.
Bandingkan dengan masa sebelum bentor online menjamur, ketika ia bisa membawa pulang hingga Rp250.000.
“Biar mo keliling satu Gorontalo, cari penumpang setengah mati. Yang ada bensin merugi, motor overheat,” katanya sambil tersenyum getir.
Transportasi yang Menjadi Identitas
Bentor di Gorontalo bukan sekadar moda transportasi. Ia bagian dari wajah kota, denyut kehidupan, dan budaya setempat.
Data dari BPS mencatat, pada 2019 jumlah bentor di kota ini mencapai 3.220 unit.
Dengan panjang jalan sekitar 233 kilometer, ada rata-rata 14 bentor per kilometer.
Meski terkesan padat, keberadaan bentor dulu justru memudahkan mobilitas warga. Tapi perubahan sosial yang digerakkan oleh teknologi telah mengubah peta.
Platform online menawarkan efisiensi, promo, dan akses cepat, hal yang sulit disaingi pengemudi konvensional seperti Juna.
Ironisnya, meski tak mampu bersaing, Juna juga tak bisa bergabung. Masalahnya klasik, ia tidak memiliki kelengkapan administrasi kendaraan. Bahkan ponsel pintar pun ia tak punya.
Ia tetap setia di jalur konvensional, di jalan yang perlahan ditinggalkan.
Saling Sengsara di Dua Sisi
Perubahan zaman memang tak memilih siapa korbannya. Menurut Iwan Abdullatif, Presiden Ikatan Pengemudi Bentor (IPB), bukan hanya pengemudi konvensional yang kesulitan.
Mereka yang beralih ke online pun harus menghadapi potongan tarif aplikasi hingga 30 persen.

“Aplikasi ini cuma punya alat. Armada, bensin, HP, semua dari pengemudi,” kata Iwan dengan nada tegas.
Ia menyebut pengemudi bentor online tak ubahnya mesin uang bagi perusahaan.
“Dari sisi waktu banyak kerugian. Dari sisi income, tidak sesuai dengan harapan istri dan anak-anak di rumah,” lanjutnya.
Iwan masih ingat betul tahun 2018 saat transportasi daring masuk ke Gorontalo. Ia dan komunitasnya menolak habis-habisan. Bukan semata alergi terhadap perubahan, tapi karena mereka tahu banyak pengemudi belum siap secara infrastruktur.
Kurang lebih 19 kali rapat alot dilakukan dengan instansi, namun kenyataan tetap menuntut mereka menyesuaikan diri.
Kota yang Bergerak, Tapi Tak Mengajak Semua
Gorontalo memang tengah tumbuh. Tapi pertumbuhan itu tak merata. Hingga Agustus 2024, sebanyak 61,45 persen angkatan kerja masih berada di sektor informal, termasuk Juna.
Sektor formal yang menjadi tumpuan ekonomi kota hanya menyerap 38,55 persen tenaga kerja.
Dalam situasi seperti ini, bentor bukan sekadar kendaraan, melainkan benteng terakhir.
Tempat bernaung bagi mereka yang tak tertampung dalam struktur ekonomi modern. Tapi sekarang, benteng itu pun mulai runtuh.
“Pemerintah tidak bisa menutup mata. Bentor ini bukan sekadar kendaraan, tapi bagian dari kearifan lokal,” kata Iwan.
Ia berharap ada kebijakan yang tak sekadar mempromosikan digitalisasi, tapi juga memberi ruang transisi bagi yang tertinggal.
Di tengah gegap gempita Gorontalo yang mulai dipenuhi suara notifikasi pesanan dan aplikasi peta, Juna tetap menunggu di pangkalannya. Setia pada jalur lama, bukan karena tak mau berubah, tetapi karena belum mampu.
“Kalau saya menyerah, siapa yang biayai anak sekolah?” tanyanya pelan.
Dan bentornya kembali menyusuri jalanan, pelan, menua bersama kota yang terus bergerak, entah ke mana.
**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel