Deforestasi dan Ancaman Banjir di Pohuwato Izin Konsesi akan Perparah Krisis Ekologis

Keterangan Foto : Penebangan hutan alam di konsesi IGL. (sumber : SaveGorontalo)
Keterangan Foto : Penebangan hutan alam di konsesi IGL. (sumber : SaveGorontalo)

KOMPARASI.ID Hujan deras mengguyur Provinsi Gorontalo, khususnya di Kecamatan Popayato, Popayato Barat, dan Popayato Timur, Kabupaten Pohuwato, pada Rabu, 22 Januari 2025.

Curah hujan tinggi ini kembali menyebabkan banjir di tiga kecamatan tersebut, merendam permukiman dan jalan utama.

Aktivitas industri yang menggerus kawasan hutan disebut sebagai faktor utama yang memperparah bencana ini.

Koalisi Save Gorontalo menilai bahwa deforestasi akibat ekspansi industri telah membuat lingkungan semakin rentan terhadap bencana.

“Hutan yang dulu menjadi penyangga ekosistem kini menyusut drastis. Daya serap tanah berkurang, sehingga banjir semakin sering terjadi,” kata Renal Husa, juru bicara koalisi tersebut.

Direktur Eksekutif WALHI Gorontalo, Defry Sofyan, mengungkapkan, dalam satu dekade terakhir, pembukaan lahan oleh perusahaan pemegang konsesi telah mengurangi tutupan hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air.

Setidaknya, ada lima perusahaan yang aktif beroperasi di kawasan ini, yakni Inti Global Laksana (11.860,12 Ha), Loka Indah Lestari (15.410 Ha).

Banyan Tumbuh Lestari (15.493,42 Ha), Sawit Tiara Nusa (8.668 Ha), dan Sawindo Cemerlang (2.046 Ha).

Dalam periode 2015 hingga 2024, total deforestasi yang terjadi di dalam konsesi tersebut mencapai 2.202 hektare.

Baca Juga :  Menuju KONI sebagai Pusat Ekonomi Olahraga, Jeffry Rumampuk Prioritas Gagas Sport Industri 

“Banyan Tumbuh Lestari mencatatkan deforestasi terbesar dengan 1.832 hektare, diikuti oleh Loka Indah Lestari (279 hektare) dan Inti Global Laksana (62 hektare). Sementara itu, Sawit Tiara Nusa serta Sawindo Cemerlang menyumbang kehilangan hutan masing-masing 20 hektare dan 9 hektare,” ujar Defry.

Keterangan Foto : . Indeks kerentanan banjir yang tinggi terletak di wilayah hilir, yang bergantung pada tutupan hutan di wilayah hulu yang telah dikuasai konsesi. (sumber: WALHI)
Keterangan Foto: Indeks kerentanan banjir yang tinggi terletak di wilayah hilir, yang bergantung pada tutupan hutan di wilayah hulu yang telah dikuasai konsesi. (sumber: WALHI)

Izin Konsesi Baru dan Ancaman Ekologis

Direktur Institute for Human and Ecological Studies (Inhides), Tarmizi Abbas, menyoroti kebijakan pemerintah yang justru memberikan izin konsesi baru bagi beberapa perusahaan di tengah krisis lingkungan yang semakin parah.

Dalih pemerintah untuk mendorong ekspor wood pellet dinilai mengorbankan hutan yang tersisa.

Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), terdapat enam perusahaan baru yang mendapat izin dengan total konsesi mencapai 180 ribu hektare di Kabupaten Pohuwato, Boalemo, dan Gorontalo Utara.

Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain PT Hutani Cipta (7.800 Ha), PT Keia Lestari Indonesia 1 (41.000 Ha), PT Lumintu Ageng Joyo (38.000 Ha), PT Keia Lestari Indonesia 2 (43.000 Ha), PT Nawa Waskita Utama (41.000 Ha), dan PT Sorbu Agro Energi (9.800 Ha).

Baca Juga :  Dari Bone Bolango ke Panggung Nasional: Perempuan Pesisir Ini Siap Gugat Ketimpangan Maritim

Perusahaan-perusahaan ini bergerak dalam sektor bioenergi dengan mengembangkan Hutan Tanaman Energi (HTE), yang berbasis bahan baku kayu.

Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia, mengkritik, ekspansi izin HTE ini berpotensi merusak lingkungan secara masif.

Ia menilai proyek bioenergi ini sebagai bentuk manipulasi transisi energi yang justru mempercepat laju deforestasi dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologis.

“Yang menanggung dampaknya adalah masyarakat. Hutan yang seharusnya menjadi penyangga kehidupan malah diubah menjadi perkebunan kayu untuk bioenergi. Akibatnya, risiko bencana seperti banjir dan tanah longsor meningkat tajam,” ujar Anggi.

Keterangan Foto : Indeks kerentanan longsor yang tinggi terletak di wilayah hilir, yang bergantung pada tutupan hutan di wilayah hulu yang telah dikuasai konsesi.. (sumber : WALHI)
Keterangan Foto : Indeks kerentanan longsor yang tinggi terletak di wilayah hilir, yang bergantung pada tutupan hutan di wilayah hulu yang telah dikuasai konsesi.. (sumber : WALHI)

Senada dengan itu, Juru Kampanye Bioenergi dari Trend Asia, Amalya Reza, menyebut biomassa kayu sebagai solusi palsu untuk energi terbarukan.

Selain menguras lahan, kebijakan ini dinilai sebagai bentuk greenwashing yang hanya memperpanjang usia Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Analisis Trend Asia menunjukkan bahwa dalam periode 2020-2024, deforestasi di Pohuwato telah mencapai lebih dari 17 ribu hektare, sebagian besar akibat ekspansi perkebunan kayu energi.

Baca Juga :  HMI Gorontalo Kepung DPRD Tolak RUU Polri dan Desak Cabut UU TNI

Kekhawatiran terhadap dampak biomassa kayu bukan tanpa alasan. Selain Gorontalo, fenomena serupa juga terjadi di berbagai wilayah lain.

Risiko ekologis yang muncul tidak hanya berskala lokal, tetapi juga dapat meluas seiring dengan semakin banyaknya izin konsesi di kawasan rentan seperti Popayato Grup.

Menurut kajian WALHI Gorontalo, penambahan izin konsesi ini akan semakin memperparah kondisi lingkungan di Kabupaten Pohuwato.

Dengan terus menyusutnya luas hutan, ancaman bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor akan semakin besar.

Selain itu, degradasi lingkungan juga berdampak langsung pada masyarakat yang bergantung pada ekosistem hutan dan sungai.

Koalisi Save Gorontalo menilai bahwa langkah pemerintah dalam memberikan izin konsesi baru ini justru menciptakan ancaman ekologis baru.

Tanpa upaya tegas dalam menghentikan eksploitasi hutan dan melakukan pemulihan ekosistem, bencana ekologis di Gorontalo hanya akan semakin memburuk dari tahun ke tahun.

l

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *