KOMPARASI.ID – Altio Lengato, mahasiswa Universitas Bina Mandiri Gorontalo (UBMG), mengalami nasib pahit setelah dikeluarkan dari kampus tanpa alasan yang jelas.
Ia menduga keputusan Drop Out (DO) ini berkaitan dengan keterlibatannya dalam organisasi ekstra kampus, serta kritiknya terhadap kebijakan kampus yang dianggap tidak berpihak kepada mahasiswa.
Altio mengungkapkan dirinya pernah dipanggil oleh pihak kampus untuk dimintai keterangan dan bahkan dipaksa menunjukkan isi percakapan dalam grup pribadinya.
Ia juga merasa aktivitasnya di kampus terus diawasi melalui CCTV, sementara pihak universitas beberapa kali menanyakan isi percakapannya serta dengan siapa ia berbicara.
“Saya dikenakan sanksi DO, kemudian ada beberapa upaya pembungkaman. Chat dalam grup pribadi saya dibuka oleh pihak rektorat, bahkan ada upaya memantau aktivitas saya melalui CCTV, mereka ingin tahu dengan siapa saya berbicara dan apa yang saya bicarakan,” ujar Altio, Kamis (14/03/2025).
Lebih lanjut, Altio merasa heran mengapa keputusan DO tersebut tidak disertai surat resmi berkop universitas serta, alasan yang jelas mengenai pelanggaran yang ia lakukan.
Tak hanya dirinya, ia mengungkapkan bahwa ada tujuh mahasiswa lain yang turut dikenakan sanksi skorsing tanpa alasan yang jelas.
“Terkonfirmasi sudah ada tujuh mahasiswa yang diskorsing oleh pihak universitas dengan alasan yang tidak jelas,” katanya.
Altio menduga keputusan tersebut berkaitan dengan komentar mereka mengenai mahalnya biaya ujian, yang sempat menjadi isu viral.
Diskusi terkait hal itu terjadi dalam percakapan pribadi mahasiswa maupun di kolom komentar media sosial.
“Alasan utama kami diskorsing adalah karena membahas kasus uang ujian yang viral, baik dalam chat pribadi mahasiswa maupun di kolom komentar media sosial,” tambahnya.
Sebagai bukti, Altio menunjukkan, ia dan tujuh mahasiswa lainnya kini tidak dapat mengakses situs akademik kampus. Bahkan, nama mereka telah dinonaktifkan di situs PDDIKTI.
Ia menyayangkan kebijakan kampus yang dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan mahasiswa dalam bersuara dan berserikat.
Menghadapi situasi ini, Altio dan rekan-rekannya telah mencoba mengajukan banding ke Rektor UBMG.
Namun, permohonan mereka ditolak dengan alasan bahwa hasil sidang kode etik bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat.
Saat ini, mereka berencana membawa persoalan ini ke Ombudsman RI untuk mengadukan kasus DO dan skorsing yang diterapkan UBMG.
“Kami akan melapor ke Ombudsman mengenai skorsing yang dilakukan UBMG,” tutupnya.
Sementara itu, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan MBKM UBMG, Andriyanto Dai, sebelumnya telah memberikan keterangan terkait surat undangan yang diberikan kepada orang tua mahasiswa.
Menurut Andriyanto, surat tersebut merupakan undangan untuk menghadiri sidang pembacaan putusan pelanggaran kode etik serta penandatanganan surat pernyataan yang telah dibuat oleh tim kode etik kampus.
Namun, saat ditanya lebih lanjut mengenai jenis pelanggaran yang dilakukan mahasiswa, ia menyebut bahwa hal tersebut tidak dapat disampaikan ke publik.
“Sidang tadi merupakan penyampaian hasil sidang kode etik serta bentuk pembinaan terhadap mahasiswa dengan menghadirkan orang tua mereka agar dapat dibina bersama,” ujar Andriyanto.
Ia menegaskan, aturan yang diterapkan bertujuan menjaga ketertiban akademik.
Andriyanto juga membantah adanya ancaman DO bagi mahasiswa yang aktif di organisasi ekstra.
“Tidak ada mahasiswa yang di-DO hanya karena ikut organisasi tertentu. Jika ada tindakan akademik yang diambil, pasti berdasarkan evaluasi kode etik yang telah ditetapkan,” tegasnya.
Selain itu, ia juga membantah klaim Altio mengenai tujuh mahasiswa yang menerima sanksi skorsing.
“Tidak ada tujuh mahasiswa yang diskorsing. Saya sampaikan, itu tidak benar,” tandas Andriyanto.
**Cek berita dan artikel terbaru Komparasi.id dengan mengikuti WhatsApp Channel